Aku merasa terlalu dingin, begitu ujung-ujung jariku tenggelam dalam air. Terus saja merambat, dan naik sampai ke punggung, menembus tebalnya baju tidur yang dilapis sweater.
Hari memang masih pagi benar, dan langit tampak kelabu. Mungkin hujan akan kembali turun, seperti pada hari jumat dan sabtu lalu. Baru saja dua hari suamiku masuk kerja, kelihatannya hari ini bakal off lagi.
Aku mencoba menepis rasa dingin, mencoba tak peduli pada semilir angin yang membuat gigi berkatup rapat.Â
Cepat kuselesaikan saja, membasuh beras dalam panci tua milik bapak. Memasak nasi adalah tugas pertamaku setiap pagi, sebelum anak-anak bangun dan bersiap belajar online.
Sudah dua tahun ini, aku, suami dan anak-anak menempati rumah bapak.Â
Tak terlalu tepat sebenarnya kalau disebut rumah. Karena ukurannya kecil dan bentuknya sederhana. Letaknya juga di pinggiran hutan, agak jauh dari para tetangga.
Bapak sendiri menempati rumah lama tempat aku dibesarkan dulu. Sendiri saja, sejak ibu berpulang hampir dua tahun sebelumnya.
Seringkali, dalam kesendirian aku terkenang-kenang bagaimana di masa kecilku, aku sangat dekat dengan bapak. Aku kerap menghabiskan waktu berjam-jam untuk mendengarkan cerita bapak, sampai membuat ibu geleng-geleng kepala.
Saat itu, bapak terlalu istimewa untuk anak perempuan sepertiku. Semacam sosok idola sekaligus tempatku menggali ilmu yang tak habis-habis.
Sayang, masa-masa seperti itu sudah lama hilang. Anak perempuan bapak kini dewasa dan menjadi ibu pula.