"Justru itu, waktu kami masih berumah tangga dan Assadel baru berumur sembilan tahun, ayahnya sudah nikah siri dengan perempuan itu diam-diam..."
Aku mencoba senyum, berharap ia terhibur dan beban kebencian yang dibawanya sedikit berkurang.Â
"Itu bukan yang pertama, mama Naya. Sudah sering. Dulu juga pernah ngga pulang empat bulan lamanya. Aku sampai stres, sampai kurus. Sekarang aja aku gemuk..."
"Namanya pekerjaannya supir, sering keluar kota, ngga di rumah. Kecantol aja dimana-mana..."
"Aaahh...bukan karena 'supir' nya, tapi ya memang begitulah kehidupan. Begitulah sebagian laki-laki..." kataku.
"Iya yaa..." senyumnya merekah, seolah baru sadar nasib sepahit ini bukan ia satu-satunya yang mengalami.
"Sudah...ngga usah diingat-ingat lagi. Anggap saja laki-laki punya takdir untuk jadi ayah dari anak yang beda-beda. Kelak sampean dan ayahnya Assadel sudah ngga ada, anak-anak itu tumbuh dewasa dan menjadi saudara. Mungkin saling akur dan saling membantu. Lalu kemana perasaan sakit hati istri yang pertama? Ngga ada. Begitulah kehidupan. Ngga seperti yang kita mau dan bayangkan. Semua bebas berbuat, nanti bertanggung jawab di akhirat..."
Sofia mengangguk-angguk sambil senyum. Manis sekali.
"Anggaplah jodoh kalian sampai di sini, sampean ngga beruntung karena suaminya begini. Tapi sampean mesti bersyukur, neneknya Assadel masih sayang seperti dulu. Menganggap sampean anaknya. Hubungannya mesra. Banyak lho, yang suaminya masih baik dan masih sayang, tapi hubungan dengan ipar atau mertuanya dingin..." kataku panjang lebar.Â
Aku mulai mengusap-usap perut yang bernyanyi lagi. Tapi masih betah mendengarkan Sofia bercerita.
"Assadel itu, diajak ayahnya bermalam di rumah ibu tirinya, ngga mau. Sampai-sampai ayahnya kecewa. Baru dia tau anaknya sebenci ini..."