Mohon tunggu...
Ayo Sizuka
Ayo Sizuka Mohon Tunggu... -

Jurnalis frustasi yang tak berhenti bermimpi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Fenomena Jokowi

30 Oktober 2012   03:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:14 2000
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Sizuka

Pekan-pekan ini kita disilaukan oleh pesona seorang Joko Widodo. Semua tentang Jokowi menjadi hiruk-pikuk pemberitaan media. Masyarakat lebih tergila-gila lagi, mengelu-elukannya di setiap kunjungan Jokowi ke lapangan. Sebenarnya, apa istimewanya Gubernur DKI Jakarta yang baru ini? Ia "hanya" melakukan apa yang seharusnya dikerjakan oleh pemimpin. Belanja masalah langsung ke tengah masyarakat. Begitulah idealnya sebagai seorang pemimpin, bukan?

Ataukah karena teramat miskinnya kita akan pemimpin yang baik sehingga kemunculan Jokowi menjadi sangat fenomenal? Dan ternyata begitu rindunya kita pada pemimpin sederhana nan merakyat. Maka, tak heran bila Jokowi menjadi bulan-bulanan kegandrungan kita akan pemimpin sejati yang mengayomi.

Seperti halnya ketika menjadi walikota Solo, aksi Jokowi tak bisa dihentikan. Ia menemui langsung rakyatnya, utamanya para kaum papa di kampung-kampung kumuh. Dia ke terminal untuk mengecek kondisi angkutan umum dan pergi ke berbagai tempat yang merupakan kantong-kantong masalah. Kehadiran Jokowi bersama gaya sederhana yang dibawakannya selalu mencuri perhatian, merebut simpati dan berhasil mengambil hati masyarakat. Tak ketinggalan para awak media yang mengikuti keseharian pejabat nyentrik ini juga makin terkesima.

Jokowi menjauhkan diri dari birokrasi yang rumit dan protokoler yang kaku serta segala aturan dan ketentuan yang dapat menciptakan jarak antara dirinya dengan rakyat yang dipimpinnya. Dalam sepekan pertama menjabat gubernur DKI Jakarta, ia dan pasangannya Basuki Tjahaja Purnama berhasil meruntuhkan tembok birokrasi di lingkungan balaikota, tempat keduanya berkantor. Baik masyarakat dan para pekerja media merasakan perubahan hawa keterbukaan balaikota sebagai rumah rakyat. Warga sekarang bisa mencegat sang gubernur langsung ketika ia turun dari mobil di balaikota saat pagi hari. Wartawan juga leluasa menelisik ruang kerja wakil gubernur yang sebelumnya digunjingkan karena terlalu luas dan mewah itu. Tak ada sedikitpun yang disembunyikan, Ahok _panggilan akrab Basuki Tjahaja Purnama_ mempersilahkan para wartawan melihat-lihat berbagai fasilitas yang terdapat dalam ruang kerjanya. Ruangan wagub yang dinilai terlalu "wah" ini diperintahkan oleh Jokowi untuk diperkecil. Sang wakil ini juga ditugaskan membenahi internal birokrasi di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pembenahan meliputi penghematan anggaran operasional dengan melakukan efisiensi penggunaan ruang perkantoran termasuk rencana penarikan para kepala dinas untuk berkantor di lingkungan balaikota. Tugas Ahok juga menegakkan disiplin PNS dan menciptakan birokrasi yang melayani.

Pengamat kebijakan publik Andrinof Chaniago percaya, meski tantangan membenahi birokrasi ini berat, namun pasangan mantan walikota Solo dan mantan bupati Belitung Timur ini mampu memberesinya.

"Dengan kualitas yang mereka miliki dan perencanaan yang matang, saya yakin duet Jokowi-Ahok ini mampu membawa perubahan signifikan bagi kota Jakarta," ujar Andrinof.

Bila Ahok lebih banyak di dalam balaikota, Jokowi tiap hari bersafari menyusuri lokasi-lokasi yang tak lazim diinjak oleh para pejabat, tempat kumuh penuh persoalan sosial. Ia bepergian juga tak seperti lazimnya seorang gubernur yang menggunakan mobil dinas jenis Land Cruiser lengkap dengan voorijder. Sepekan pertama bekerja Jokowi pergi dengan mobil kijang innova, itupun sewaan dan tanpa pengawalan menembus pekatnya kemacetan jalanan ibukota serta tak mau menerobos lampu merah. Sungguh perilaku langka yang belum pernah ditunjukkan oleh para pejabat pendahulunya.

Namun adakalanya perilaku nyleneh si gubernur menjadi bahan cemoohan bagi kelompok-kelompok yang dengan sinis menilai apa yang dilakukan Jokowi hanyalah untuk membangun pencitraan. Bisa dipahami, karena memang hampir tak ada pejabat yang berbaik-baik dengan rakyat atas dorongan ketulusan dan pengabdian. Selalu ada tujuan promosi yang menyertainya.

Tapi paling tidak ada indikasi yang bisa dipakai untuk mengukur apakah perilaku baik pejabat itu dalam rangka pencitraan atau jujur apa adanya. Bila hal-hal baik ditunjukkan secara mendadak atau serta-merta dan bertolak belakang dengan realita keseharian atau kebiasaan sebelumnya, pastilah perlu diragukan. Apalagi bila ada rencana pencalonan untuk jabatan tertentu dalam waktu dekat maka bisa dipastikan itu adalah pencitraan.

Jokowi, publik bisa menelisik rekam jejaknya selama 7 tahun menjadi walikota Solo. Perilakunya juga sama seperti itu, turun ke tengah-tengah masyarakat melihat persoalan, mendengarkan keluh-kesah warganya secara langsung dan lantas memetakan kebijakan untuk dilaksanakan sebagai solusinya. Bedanya, di Solo ia tak begitu menyolok ketika blusukan ke kampung-kampung karena perawakan dan penampilannya seperti orang biasa. Dengan begitu ia leluasa berdialog dengan rakyat dan menggali persoalan dari mereka. Pemberitaan mengenai aksi Jokowi ini juga tak segempar ketika ia melakukan hal yang sama di ibukota.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun