Mohon tunggu...
Ayu Bejoo
Ayu Bejoo Mohon Tunggu... Jurnalis - Moody Writer

Moody Writer

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Point Penting dari Mahaguru Mbah Hasyim Asy'ari

21 Desember 2017   08:11 Diperbarui: 16 Desember 2018   10:34 681
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KH. Hasyim Asy'ari merupakan pendiri Nahdlatul Ulama, Beliau merupakan seorang Mahaguru paripurna yang menghasilkan ribuan santri, baik ulama maupun kyai. Beliau merupakan seorang ulama pejuang, terbukti dengan adanya Resolusi Jihad Fii Sabilillah pada tanggal 21 Oktober 1945. Seorang ulama yang memahami bagaimana mewujudkan umat muslim Indonesia yang terbaik. Beliau terus melestarikan ajaran Ahlussunnah Waljama'ah di Indonesia dengan menjawab persoalan-persoalan aktual tanpa sedikitpun menurunkan eksistensi semangat ukhuwah islamiyah.

Ukhuwah islamiyah merupakan suatu asas yang dapat mempererat ikatan sesama manusia, dalam hal ini sesama bangsa, yang akan melahirkan rasa kesatuan. Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari sangat memperhatikan substansi dari hal ini, sehingga sangat menolak adanya fanatisme yang memecahbelahkan persatuan. Berdasarkan indikasi dari perwujudan pendekatan paham umat islam dalam memperkuat eksistensi mereka ; organisasi-organisasi islam yang bermunculan dengan berbagai varian pemikiran.

Mbah Hasyim mengemukakan bahwasannya bagaimana mungkin umat islam menyatakan perbedaan mereka dengan meniadakan sesuatu yang dari padanya ialah hal-hal yang bersangkutan secara dzohiriyah, karena menurutnya fanatisme terhadap perkara furu' tidak dipermungkinkan oleh Allah SWT, semisal antara umat islam ingin membuat perbedaan dengan eksistensi mereka padahal kitab yang dijadikan acuan satu, Al-Quran. Nabi yang dijadikan panutan satu, Muhammad SAW. Arah yang dijadikan kiblat satu, Ka'bah. Maka tidak ada celah untuk mengada-adakan perbedaan, yang ada hanyalah mereka sedang mengkafirkan satu dengan yang lain. Inilah yang disebut perpecahan yang menguntungkan lawan, dalam hal ini orang-orang yang tidak menyukai Islam.

Maka berdasarkan keadaan tersebut, pada tanggal 21 September 1937 berdirilah Majelis Islam A'la Indonesia yang bertujuan untuk mempersatukan fraksi-fraksi,organisasi-organisasi Islam dan Jam'iyah yang bervarian mazhab, dalam memperkokoh persaudaraan umat islam. Ini juga telah tersampaikan oleh Mbah Hasyim, selama orang muslim beragama islam maka hal-hal doktrinal yang bersifat kontroversial serta masalah-masalah furu' yang sekunder tidak mungkin bisa memisahkan pandangan orang muslim dengan apapun dalam keadaan apapun. Karena hal-hal tersebut bukanlah perbedaan kontradiktif atau persoalan akidah melainkan perbedaan variatif, yaitu perselisihan pandangan.

Semisal, yang dikaitkan disini perkara tentang bahwa kaum awam tidak perlu bermadzhab, ini termasuk dalam perbedaan variatif, hanya perselisihan pandangan. Lalu bagaimana dengan pernyataan Mbah Hasyim? Mengenai hal ini menurut Beliau ada dua fungsional dalam penerapan makna bermadzhab. Meskipun Mbah Hasyim pendiri Nadhlatul Ulama yang terkenal dengan bermadzhab Syafi'i, namun tidak dipungkiri bahwa Mbah Hasyim bukan seorang ulama yang intoleran dengan perbedaan madzhab. Karena dengan tegas Mbah Hasyim menyerukan untuk menjauhi sikap fanatik buta terhadap satu madzhab.

Menurut Mbah Hasyim, berpegangan madzhab itu penting dan wajib hingga sampai pada level mujtahid. Apalagi orang awam tidak memiliki kemampuan nalar yang cukup, tidak pernah membaca kitab tentang masalah-masalah furu', atas dasar itu pengakuan bermadzhabnya tidak bisa dijadikan pijakan atau dalil untuk ia menghukumi suatu masalah. Karena banyak juga ahli bid'ah yang sesat mendasarkan pemahamannya kepada al-Quran dan Hadits namun mereka tidak mendapatkan kebenaran sama sekali, sesat lalu menyesatkan.

Akan tetapi Mbah Hasyim juga mengemukakan bahwa orang awam tidak harus selalu mengikuti madzhab tertentu pada kondisi tertentu juga. Seperti orang yang mengikuti madzhab Syafi'i, tidak harus baginya mengikuti secara terus menerus, tetapi diperbolehkan berpindah ke madzhab yang lain. Inilah mengapa Mbah Hasyim mengemukakan bahwa kaum awam tidak perlu bermadzhab, namun di sisi lain beliau menyatakan "wajib bagi mereka yang tidak memenuhi kriteria mujtahid mutlak untuk bertaqlid kepada suatu madzhab", lebih karena untuk mengemukakan di kalangan penganut madzhab untuk tetap bermadzhab namun jangan fanatik, dan memberikan pemahaman kepada kaum muslim awam yang tidak bermadzhab.

Selain menumpahkan pemahaman beliau di dalam masaail Ahlussunnah Wal jama'ah banyak lagi karya-karya beliau di dalam persoalan yang lain. Salah satunya ialah karya beliau Dhau'ul Mishbah fi Bayan Ahkam al-Nikah, kitab ini membahas hukum-hukum, syarat, rukun dan hak-hak dalam perkawinan. 

Kitab ini tergolong unik karena Mbah Hasyim menulisnya atas dasar peristiwa pada masa itu, maraknya orang awam yang ingin menikah namun tidak mengetahui hukum-hukum, syarat, rukun dan hak-hak perkawinan. Meskipun sudah banyak yang membahas perkara ini, namun menurut Mbah Hasyim masalah perkawinan selalu dimasukkan ke dalam kitab-kitab yang besar, sehingga membuat orang-orang malas membacanya. Maka Mbah Hasyim tertarik menuliskannya dalam sebuah kitab setebal 22 halaman yang dibagi dalam tiga bab.

*ditulis sebagai tugas akhir dalam mata kuliah BMK 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun