Mohon tunggu...
Arie Yanwar
Arie Yanwar Mohon Tunggu... Administrasi - Hanya seorang rakyat yang peduli kepada negerinya tercinta

Menulis sebagai bentuk apresiasi pada pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ketika Perang Mencapai Puncaknya, Ironi dari Transportasi "Online"

29 Maret 2018   04:40 Diperbarui: 29 Maret 2018   05:11 1118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: transonlinewatch.com

Fenomena transportasi daring sudah menjadi hal yang biasa di masyarakat, bahkan dapat dikatakan moda transportasi seperti ini sudah menjadi kebutuhan. Kita bisa lihat di stasiun, mal, apartemen, perumahan bahkan pinggiran jalan, selalu saja ada orang yang mengeluarkan gadget terus ketal ketul, sesudah itu menerima telepon, lihat kiri-kanan dan jemputan pun datang. 

Semakin maraknya penggunaan transportasi daring tidak terlepas dari keamanan dan kenyaman yang diperoleh konsumen dan tentu saja harga yang relative murah, tanpa tawar menawar dan mudah. Sehingga tidak heran jika transportasi daring ini semakin populer terutama di daerah perkotaan.

Pada awalnya moda ini dipelopori oleh Uber di Amerika Serikat dimana sang pendiri perusahaan tersebut hanya bermaksud untuk membuat aplikasi Shared ride dimana orang yang membutuhkan tumpangan untuk pergi ke suatu tujuan dapat bertemu dengan pengendara mobil yang kebetulan memiliki tujuan yang sama, dengan si penumpang tersebut membayar dengan harga wajar kepada si pengendara. Hal inilah yang beberapa ahli mengkategorikan fenomena ini sebagai sharing economy dimana tujuannya adalah mengoptimalkan asset yang dimiliki oleh setiap individu supaya lebih produktif.

Fenomena ini akhirnya menyebar ke seluruh dunia. Di Indonesia, fenomena tranportasi daring ini beradaptasi dengan kondisi lokal dimana transportasi roda dua terlihat sangat efektif untuk bisa menembus kemacetan di perkotaan sehingga dapat menghemat waktu tempuh. Munculah Gojek sebagai pionir dari transportasi daring roda dua dimana tidak lama munculah para penirunya yah sebutlah blue-jek, lady jek, ojek syari, dan lain-lain. Dari negeri jiran, datanglah Grab, tetapi perusahaan Grab ini pada awalnya hanya memiliki pelayanan untuk memangil taxi atau grabtaxi dimana yang dipanggil adalah para pengemudi taxi yang memilik aplikasi grab di di smartphone mereka.

Gojek muncul dengan konsep sebagai penghubung antara tukang ojek dengan konsumennya. Dari sinilah mulai terjadi standarisasi pelayanan ojek dari yang mulai mengenakan tariff semena-mena menjadi tariff pasti dan transparan, dari penampilan tukang ojek yang kumel dan gak pernah bawa helm untuk penumpang menjadi tukang ojek yang berseragam rapi dan selalu membawa helm untuk penumpang bahkan masker dan penutup rambut juga disediakan. 

Tetapi diantara sekian banyak perubahan tersebut adalah metode promosi gojek yang memang fantastis, dimana kita cukup unduh aplikasi gojek, daftar email dan kita bisa naik ojek gratis beberapa kali. Hal ini jelas membuat Gojek semakin populer dan peminatnya pun semakin banyak.

Apakah pengemudi di rugikan? Tentu tidak. Gojek menerapkan standar tariff kepada penumpang dimana pengemudi juga tahu berapa yang harus dibayar penumpang. Ini jugalah yang menjadi kelebihan Gojek yaitu system pembayaran yang cashless terutama kepada pengemudi. Walaupun penumpang gak bayar se rupiah pun, pengemudi tetap mendapat bayaran sesuai tariff yang berlaku dari Gojek yang di transfer ke rekening bank mereka. Sebuah system yang win-win, penumpang untung, pengemudi untung, Gojek pun untung karena pangsa pasar mereka membesar.

Bagaimana dengan perusahaan ojek daring yang lain? Yah, inilah yang disebut sebagai kompetisi pasar atau mungkin lebih tepatnya seleksi alam. Persaingan di dunia bisnis sangat ketat, kalau tidak sanggup bersaing sudah pasti tergilas. Perlahan tapi pasti para 'jek' yang lain tersingkir. Aplikasi mereka mungkin masih ada di playstore tapi jangan harap ketika kita memakai layanannya terus ada yang datang. Dengan metode promosi Gojek yang jor-joran tentu saja, operator tranportasi daring yang lain pun berguguran, kalah terhadap hagemoni Gojek.

Anda pasti pernah mendengar istilah 'melawan api dengan api' kalau ingin melawan Gojek yang bermodal kuat, maka lawannyapun harus bermodal kuat juga. Dan inilah yang terjadi ketika Grab masuk ke pangsa roda dua dengan layanan grabbike nya. Dalam sekejap terjadilah perang tariff yang dahsyat antar kedua perusahaan apps ini. Sebagai pengguna layanan transportasi online tentu kita sebagai konsumen yang di untungkan. Baik Gojek maupun Grab menyodorkan diskon yang luar biasa kepada konsumen seperti diskon Rp10 ribu, gratis 5x perjalanan dan lain-lain.

Masuknya Uber ke Indonesia pada awalnya hanya memberi layanan taxi daring dan otomatis pesaing mereka adalah taxi konvensional dan angkot yang huru-haranya kerap terjadi dalam 3 tahun terakhir. Semua berubah ketika Grab membuka layanan grabcar dan grabbike. Dalam hal ini, Grab seakan ingin menantang hagemoni Gojek di roda dua sekaligus menyingkirkan Uber di roda empat. 

Mulailah perang tariff di kumandangkan untuk sektor transportasi daring. Perang ini pun semakin seru ketika Uber membuka layanan ubermotor dan Gojek membuka layanan gocar. Ibarat api ungun di siram bensin, nyala perang tariff pun semakin besar, wow banged.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun