Mohon tunggu...
Ayah Tuah
Ayah Tuah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat kata

Nganu. Masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Republik Pagi

24 Juli 2020   21:03 Diperbarui: 24 Juli 2020   20:59 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Foto oleh Brooke Lewis/ Pexels 

Keriuhan pasar tumpah di kepalamu. Kau merebusnya bersama mi instan, penuh penyedap rasa dan zat pewarna. Anak-anak makan dengan lahap. Aku berpikir, bisakah gizi dari mi itu untuk mempelajari matematika, bahasa Inggris, teknik, kedokteran. Atau memperlancar bicara. Siapa tahu nanti ia bisa menjadi anggota parlemen 

"Jangan berpikir macam-macam," katamu sambil meletakkan kopi. "Jangan ikut-ikutan demo. Syukuri kalau kau tidak termasuk yang di-PHK pabrikmu."

Jangan pula pabrikmu dibawa ke rumah. Rumah ini sudah hampir pecah dengan suara-suara tagihan pemilik kontrakan. Pun hutang bulan lalu di warung depan belum lunas

Aku menghirup kopiku yang selalu pahit. Mengancingkan seragam pabrik. Memakai sepatu 

Anakku yang akan berangkat sekolah, menyalamiku 

"Kalau aku sudah besar, boleh nggak aku jadi dokter?"

Aku tersedak, tak sanggup menatap bening mata anakku 

"Boleh," jawabku sambil menunduk, pura-pura membetulkan tali sepatu 

***

Cilegon, Juli 2020. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun