1.
Aku mempunyai enam orang anak, dua anak pertama lelaki, sedang empat lainnya adalah perempuan. Keenam anakku kini menjadi orang sukses, setidaknya tidak mengalami kesusahan  seperti kami muda dulu.Â
Tapi sejak masing-masing telah berkeluarga, kami - Â aku dan suamiku - terasa sebagai makhluk yang aneh di tengah-tengah mereka. Terlebih setelah cucu-cucu kami lahir.Â
"Badan Opa bau, Oma juga. Nggak pernah mandi, ya? Opa dan Oma cocoknya tinggal di museum," kata salah seorang cucu kami, yang disambut tawa cucu-cucu kami yang lain.Â
Para menantu dan anak-anak kami juga  turut tertawa, malah lebih keras. Aku dan suamiku juga tertawa, tapi kami tidak tahu apa yang kami tertawakan. Kemudian di kamar diam-diam kulihat suamiku menghapus air matanya.Â
Kami berpindah-pindah, dari rumah anak kami yang satu ke rumah anak kami yang lain. Tapi sepertinya mereka tidak betah dengan kehadiran kami. Kami seperti jadi penghambat gerak langkah mereka.Â
Dan, mungkin, akhirnya mereka bersepakat. Suatu sore anak sulung kami membawa kami ke sebuah tempat, sebuah rumah yang cukup besar. Di dalamnya banyak orang-orang tua seusia kami.Â
Di rumah ini suamiku hanya bertahan setengah tahun. Saat meninggal anak-anak kami datang; bukan tubuhnya, tapi hanya uang mereka. Hingga kini.Â
Kalau nanti kau melihatku, panggil saja Bu Sandra. Oma, boleh, dipanggil nenek juga tak apa.Â
***