Mohon tunggu...
Ayah Tuah
Ayah Tuah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat kata

Nganu. Masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Sesuatu Hal yang Ingin Kuceritakan Padamu

28 Januari 2020   04:25 Diperbarui: 30 Januari 2020   17:34 908
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi siluet tubuh yang hilang. (Sumber: Pixabay.com)

Aku tidak tahu harus dimulai dari mana.  

Bagaimana kalau dari Pak Darmo, seorang lelaki paling kaya di kampung kami. Seseorang yang lebih pantas menjadi kakekku, tapi menginginkan aku menjadi istrinya. 

Aku lima belas tahun waktu itu. Masih beruntung aku masih bisa menamatkan SMP-ku. Itu sudah hebat untuk ukuran kampung kami. Malah sebagian besar teman perempuanku tak tamat SD, dan umur dua belas atau tiga belas sudah menikah. 

Bagi sebagian keluarga di kampung kami, mempunyai anak perempuan seperti beban, dan beban itu seperti terlepas saat anak perempuan mereka menikah. Termasuk keluargaku.   

Kedua orangtuaku begitu lelah bertahun-tahun dibelit kemiskinan. Dan aku diharapkan menjadi jalan keluar. Aku tidak tahu, Pak Darmo menjadi malaikat penolong, atau malah mengenalkan setan pada kehidupanku. 

Nyatanya memang kehidupan keluargaku berubah. Rumah yang dulu hampir roboh kini diperbaiki. Tentu dilengkapi dengan berbagai macam perabotan, yang mustahil kedua orangtuaku dapat melakukannya. 

Aku? Aku tidak tahu bagaimana perasaanku waktu itu. Aku tidak mengerti mengapa tetanggaku, kawan-kawanku, menyebutku sebagai orang yang beruntung, karena diperistri orang kaya. Mendadak aku benci kepada mereka. Terlebih lagi aku benci kepada diriku sendiri. 

Pak Darmo, lelaki tujuh puluh tahun itu, apa yang diharap dari suami seperti itu? Untuk uang dan materi lainnya memang aku dapatkan, tapi lambat laun Pak Darmo secara tak sadar mengajarkan bagaimana aku mengenali tubuhku sendiri. 

Memang aku melihat matanya yang liar menguliti tubuhku, di tengah ketakutan pada diriku. Ada napas yang memburu, sebentar. Ada seperti amuk gelombang lautan, sebentar. Itu menjadi hari-hari, minggu-minggu, bulan-bulan, yang membuat bawah tubuhku seperti melilit. Membawa ke puncak kegelisahanku yang aneh, yang sebelumnya tak pernah kurasakan. Juga penasaran untuk keingintahuan. 

Dan To, lelaki muda tetanggaku itu, menjawabnya. 

To mengajariku untuk mengenali tubuhku sendiri sebagai seorang perempuan. Tubuh yang harus kunikmati dengan perantara keliatan otot tubuh lelaki. 

Orang menyebutnya kegilaan, tapi aku harus mengatakan, ini petualangan yang harus kunikmati, yang selama ini hanya mengisi fantasi liarku. 

Aku tidak sedih, tidak menyesal, saat Pak Darmo mengetahuinya. Dia langsung menceraikanku. Entah kenapa saat itu aku begitu lega. Tidak halnya dengan kedua orangtuaku. Mereka begitu marah. Bukan karena hubunganku dengan To, tapi lebih karena hal ini membuat pasokan materi menjadi terhenti, yang membuat kedua orangtuaku menjadi miskin lagi. 

Kali ini aku ingin sedih...! 

***

Kini aku sudah beberapa tahun di kota ini, ratusan kilometer dari tempat tinggalku. Ini bukan soal keberanian. Tapi, mungkin, untuk meluapkan kemarahanku, dengan caraku. 

To, lelaki muda itu, aku tidak tahu dan tidak ingin tahu. Tapi memang aku harus berterima kasih kepadanya, karena sesekali membuat diriku tersenyum, mengenang petualangan liar kami. Cinta? Kurasa tidak. 

Kedua orangtuaku tidak lagi menuduhku sebagai orang yang membuat mereka menjadi miskin kembali. Tiap bulan secara rutin aku mengirimkan uang kepada mereka, hingga membuat kehidupan mereka lebih dari cukup, dan adik-adikku yang empat orang itu dapat kembali bersekolah. 

Kedua orangtuaku juga tidak pernah bertanya, mengapa aku yang hanya tamatan SMP dan tidak mempunyai ketrampilan apa-apa dapat mengirim uang jutaan tiap bulan. Kemiskinan yang akut yang diderita keluarga kami berpuluh tahun membuat kedua orangtuaku takut untuk menanyakan hal itu padaku. 

Aku berusaha memakluminya, juga berusaha tak mengeluarkan air mata. Tapi sungguh sulit. Sama sulitnya untuk memaafkan diriku. Setidaknya sampai hari ini. 

***

Cilegon, Januari 2020. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun