Mohon tunggu...
MIFTAHUDIN
MIFTAHUDIN Mohon Tunggu... Guru - Berusaha menjadi lebih baik

Guru ganteng yang murah senyum dan suka belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jangan Gampang Membangun Prasangka

11 Juni 2018   20:24 Diperbarui: 11 Juni 2018   20:57 1076
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jangan Gampang Membangun Prasangka 

Sudah menjadi kebiasaan setiap ramadhan para orang tua, kakek-nenek, paman dan bibi menyiapkan uang recehan baru untuk dibagikan kepada anak, cucu, ponakan dan juga tetangga. 

Tanpa diminta pun dihari raya idul fitri, para orang tua akan segera memberikan hadiah berupa uang yg besarnya hanya cukup buat beli es kepel kepada anak-anak, sebagai wujud kegembiraan menyambut hari raya Angpau itu terkadang bentuk apresiasi kepada anak atau cucu yang masih kecil, dapat menjalankan puasa sampai tuntas, sehinggal layak diberi hadiah berupa uang. 

Jika rejeki berlebih para orang tua rela menukarkan banyak uang dengan uang baru agar kesan memberi menjadi istimewa, inilah tradisi yang sudah melekat puluhan tahun. Jadi yang harus dipahami, tradisi bagi-bagi uang di hari raya itu adalah semangat memberi dari orang tua ke anak-anak bukan sebaliknya anak-anak meminta seperti pengemis kepada yang lebih tua. 

Sangatlah lebay jika tiba-tiba tradisi bagi uang itu dikatakan sebagai bentuk mengajarkan kepada anak mental pengemis, sebuah tulisan di FB sedang viral, judulnya sangat bombatis JANGAN AJARI ANAKMU JADI PENGEMIS DI HARI IED FITRI. 

Penulis membangun narasi di awal tulisan tanpa data valid, seakan menuduh para orang tua banyak bermental pengemis :

 "Liat tuh Om datang. Salim sana biar dapat uang" "Ayo kita ke rumah teman ayah. Dia orang kaya, kalo kesana pasti dikasih" 

Saya rasa tidak ada orang tua yang seperti itu, mengajarkan anak menjadi mental pengemis di hari raya, terlebih bagi-bagi uang itu hanya terjadi pada lingkungan keluarga dekat, hanya terjadi setahun sekali (ingat yang dibahas di sini dalam konteks hari raya saja ya, bukan diluar hari raya..!!!).

Imajinasi penulis saja yang kebangatan liar, hingga sampai hati menulis seperti ini, di ujung tulisan, penulis membuat kesimpulan ngawur seperti ini

 "Sungguh malang nasibmu, nak. Jika yang orang tuamu ajarkan adalah mental orang2 lemah" 

"Mental peminta-minta yang justru sebenarnya dalam islam sangat dilarang."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun