Nikita berdiri di atas meja putar di meja kerja Ki Pasir Besi, dikelilingi oleh peralatan seni rupa di laci yang diberi label dengan tepat. Rambut ungu tua menutupi kulit kepalanya yang sebelumnya telanjang dengan mahkota ikal dan kepang yang rumit.
"Tentu saja." Ki Pasir Besi berseri-seri. "Saya sebenarnya lebih menyukai realisme, tapi saya dikenal ahli dalam banyak gaya." Dia merentangkan tangannya ke layar tersembunyi. Setiap rak kaca bening berisi boneka-boneka yang diartikulasikan dengan sangat rinci, sehingga beberapa pemuja garis keras mencurigai Ki Pasir Besi memiliki mantra penyusut.
"Sekarang, sudah selesai," tambahnya, "dia adalah sebuah karya seni tanpa kekuatan sihir apa-apa."
"Apa yang Anda lakukan?" tanya Farhad. "Selain format ulang yang luar biasa."
"Yah," kata sang penyihir sambil mengangkat kedua jari telunjuknya seperti seorang guru sedang mengajar, "Sementara yang kamu lakukan, Farhad yang baik hati, berhasil mengurangi kecenderungan Nikita untuk melakukan kekerasan, dalam hal disiplin, ada sebuah fenomena yang dalam psikologi dikenal sebagai lonjakan pemusnahan---peningkatan yang intens dan diharapkan dari perilaku tidak pantas sebelum perilaku tersebut padam sepenuhnya. Ini yang paling menjadi tanggung jawab saya."
"Kalimat itu," ucap Farhad, "terlalu panjang."
Silvana yang menjelaskan. "Aku memberikan voonekamu kepada temanku, penyihir ini, sehingga Nikita akan melontarkan serangan terakhirnya ke Ki Pasir Besi, bukan ke kamu."
Farhad melirik dari Silvana ke Ki Pasir Besi. "Oh! Wow! Jadi---lonjakan pemunahan---kalian berdua telah menyelamatkanku."
"Sama-sama." Ki Pasir Besi membungkuk.
"Kamu baik-baik saja?" Silvana bertanya pada Magister.
Ki Pasir Besi membuka kancing kemejanya, menampilkan korset pelindung dari kulit. Jarum yang patah menonjol dari tulang dada. "Hm! Sepertinya saya melewatkan satu."