Aku tahu bagaimana ini akan berakhir.
Bahkan sebelum Himawan menanyakan pertanyaannya, sambil memainkan rambutnya yang ikal kaku, "Kassandra, hei, aku ingin tahu, ehm, apakah kamu mau, eh, pergi bersamaku?" Aku tahu aku akan menjawab 'ya'.
Aku tahu bahwa untuk kencan pertama kami, dia akan mengajakku ke  sebuah restoran kecil dengan makanan paling berlemak yang pernah kumakan, dan itu akan menjadi bencana. Himawan akan menumpahkan air ke seluruh makan malamku---salad buah dan sayuran---dan gaun bermotif bunga.
Dia akan merasa tidak enak. Dia sangat ingin mengajakku kencan kedua, tapi rasa malu menghentikannya.
Aku menunggu beberapa hari sebelum menghubunginya, dan kencan kami berikutnya berjalan jauh lebih lancar. Kami bertemu di taman terdekat dan menikmati jalan-jalan berdua. Pemandangan sangat indah: tidak ada awan di langit, dan dedaunan berwarna hijau terang kekuningan untuk musim kemarau. Sebagian besar percakapan kami berisi tentang masa lalu. Aku dan dia adalah teman SMA, kehilangan kontak saat kuliah, dan kami berdua baru saja lulus dan kembali ke kampung halaman.
Kami mengambil jurusan yang sama, matematika, meski tidak ada yang tahu apa yang harus dilakukan dengan bidang itu.
Di akhir kencan, aku menatap wajah Himawan, begitu tirus panjang, begitu tampan, dan, kami berdua menggigil seperti penjelajah Kutub Utara, kami berciuman.
Kami sering berkencan. Berpacaran. Kami melamar pekerjaan sebagai akuntan. Dan setelah beberapa bulan, kami putuskan untuk menikah.
Sering terjadi pertengkaran, sebagian besar karena hal-hal bodoh, seperti soal masakan atau mencuci pakaian, meskipun pada saat itu hal-hal tersebut tampaknya sangat penting.
Pada satu titik aku menjadi sangat marah sehingga pulang ke rumah orang tuaku selama seminggu.