Muncul di tengah Bukit Barisan seperti bekas bisul pecah, Gunung Bandahara terkenal dengan banyak hal. Salah satu yang ketenarannya kurang dikenal adalah kecenderungannya yang meresahkan untuk melahap manusia.
 Jauh sebelum kedatangan penjajah Belanda, kaum pribumi menghindari kaki bukit yang rendah sebagai wilayah terkutuk, percaya bahwa mereka dihantui oleh roh jahat. Banyak pemburu dan pengumpul hasil hutan berkelana ke rimba untuk tidak pernah kembali. Suku-suku Melayu Tua yang melarikan diri dari invasi kerajaan Hindu dan Budha sekitar abad ke-7, menyebut wilayah itu "Rimba Bunian", nama yang cocok, meskipun apa sebenarnya yang dilakukan Rimba Bunian dengan para korbannya tidak jelas.
Pada tahun 1818, sebuah ekspedisi yang dibentuk oleh Raffles menghilang di dekat Bahorok, Langkat. Sebuah regu pencari dari Pangkalan Brandan juga hilang ... kecuali satu orang, yang tersesat ke sebuah desa dekat Tanggamus, Lampung yang sedang diamuk perlawanan warga. Dia tewas sebelum bisa memberikan penjelasan rinci, tetapi berhasil mengucapkan kisah kegilaan dan kengerian yang tak terbayangkan, yang sampai hari ini tidak bisa dimengerti sepenuhnya.
Pada akhir 1839, sebuah divisi marsose memburu Tjoet Maryam, istri Panglima Kandang, anak buah Teuku Jalil yang mengobarkan perlawanan terhadap penjajah Belanda, berbaris masuk rimba dan menghilang, hingga terlupakan di utara Rimba Bunian. Tahun berikutnya, Panglima Kandang sendiri pergi ke perbukitan di sepanjang sungai yang berhulu di Gunung Bandahara dan lenyap dari muka bumi. Konon, Johannes van den Bosch merujuk kehilangan Panghlima Kandang dalam buku hariannya yang hilang, menduga bahwa dia membelot. Tidak ada catatan tentang Panglima Kandang pasca-1839 .
 Orang-orang menghilang secara sporadis berlanjut selama depalapan dasawarsa berikutnya, tetapi hanya menarik sedikit perhatian. Namun, pada tahun 1942, Rimba Bunian kembali menjadi terkenal.
 Tahun itu, Perang Dunia II berkecamuk dan Belanda terusir dari bumi Musantara.
Di seluruh negeri, banyak kamp pelatihan wajib militer bermunculan hampir dalam semalam. Salah satunya di Blang Kejeren, lima puluh kilometer dari Gunung Bendahara.
 Pada sore hari tanggal 18 November 1943, seorang bocah laki-laki di Kutacane, tiga puluh kilometer selatan Rimba Bunian menghilang dari halaman belakang rumahnya. Orang tuanya, tentu saja, takut dia tersesat ke dalam hutan, dan melapor ke polisi setempat, yang kemudian melaporkan kepada sidookaan, perwakilan pemerintyah Jepang. Khawatir akan menjadi dukungan terhadap perlawanan pribumi yang sedang bergolak di selatan, sebuah regu pencari dengan tergesa-gesa dibentuk, dan bergegas menuju hutan belantara, ditakdirkan untuk tidak menemukan apa pun.
 Keesokan harinya, berita hilangnya anak tersebut menyebar, dan komandan Kamp Blang Kejeren menawarkan 300 orang untuk membantu pencarian.
 Para prajurit tiba sekitar tengah hari dan pergi ke hutan, tidak pernah terlihat lagi. Saat malam semakin larut, seorang polisi lokal yang hendak menuntaskan hajat di belukar di sepanjang jalan kuda ke gunung menemukan anak itu, tertidur di semak-semak.