Seorang pemburu berjalan sendirian melalui hutan mendengar suara gemerisik jauh di atas. Dia mendongak dan melihat sarang raksasa terbuat dari ranting-ranting di cabang terjauh pohon rimu purba. Detak lemah tertangkap di ruang antara daun.
Penasaran, pemburu itu meletakkan senjatanya dan memanjat pohon yang berderit dan mengerang seolah-olah ada yang ingin dikatakan. Selama pendakiannya, sebuah suara bergumam, sesuatu yang tidak dapat dia mengerti.
Ketika dia mencapai sarang tersebut, terlihat jauh di dalam lubangnya seorang gadis muda meringkuk dalam posisi janin. Kulit kuning gadingnya bersinar di antara ranting-ranting gelap dan tanah padat, ditutupi selaput putih tipis yang menempel di tubuhnya seperti bagian dalam kulit telur. Anggota tubuhnya kurus seperti anak sapi yang baru lahir dan tulang rusuknya meregang menonjol di kulitnya.
Suara semakin keras. "Bawa dia, bawa dia." Tanpa bertanya lagi dia tahu apa yang harus dia lakukan. Dia tidak bisa meninggalkan gadis ini di sini sendirian. Dia kelaparan. Dia menggendongnya di lengannya dan memegang telapak tangannya ke mulutnya yang terbuka, lengket dengan lendir, menandai dengik napas yang samar dan hangat, dan kemudian jeda. Dia perlu bergerak cepat.
Pemburu memikul gadis itu di atas bahunya dan turun ke lantai hutan, menyeimbangkan bebannya dengan hati-hati. Cabang yang diinjaknya terancam patah. Pohon itu menghela napas, seolah senang terbebas dari sebuah.
Gadis itu bergerak dan berbalik. Saat itulah pemburu menyadari. Alih-alih lengan, sayap kecil berwarna merah jambu tembus cahaya yang ditutupi bulu putih tipis tumbuh dari tubuhnya. Pemburu, dikejutkan oleh penampilannya, hampir kehilangan pijakan.
Suara itu berkata, "Cepat." Pemburu mengalihkan pandangannya dan berhati-hati lanjut menjejak turun, cabang demi cabang.
Cikarang, 1 Juni 2023