"Tapi kamu bilang kamu menyukainya kalau keretanya bergoyang saat di puncak. Aku juga. Aku suka sensasi."
Dia tersenyum dan mengedipkan matanya. Sikapnya yang menggoda membuatku ku beringsut lebih dekat dan melingkarkan lenganku ke pinggangnya dan menariknya lebih dekat. "Kamu jangan nakal," bisiknya. Matanya berbinar.
Kami sudah saling menyukai selama berbulan-bulan, dan tanpa malu-malu kami mencuri pandang satu sama lain sampai akhirnya aku memberanikan diri untuk mengajaknya kencan. Itu adalah kencan pertama kami, dan aku sangat ingin mencium bibirnya. "Bagaimana kalau aku menciummu?" tanyaku sambil tersenyum.
Dia memiringkan kepalanya seolah sedang berpikir.
Pada saat bersamaan, terdengar jeritan melengking bergema dari bawah kami. Melupakan kesempatan pertamaku untuk mencium seorang gadis, aku mengintip ke bawah ke dalam kegelapan massa yang berkumpul.
"Apa yang terjadi?" tanya Sheila.
"Aku tidak tahu."
Aku memicingkan mata untuk mendapatkan pandangan yang lebih baik, tetapi batang baja bianglala menghalangi sebagian besar pandanganku dari tempat kami bergelantungan. Yang bisa kulihat hanyalah lampu merah dan biru berkedip di kejauhan, berkedip seirama dengan suara sirene yang meraung.
Aku mencondongkan tubuh ke luar dan menghitung lima mobil polisi melaju ke tengah jalan.
"Apa yang terjadi?" Sheila bertanya lagi, kali ini lebih pelan, seolah dia berbicara pada dirinya sendiri.
Aku tidak memperhatikannya karena sibuk mengamati keributan di bawah. Seorang pria jatuh ke tanah. Pada saat yang sama, sekelompok orang menerkamnya. Dari atas, mereka tampak seperti menyerangnya dengan tangan dan kaki telanjang.