Tiba-tiba, menjadi jelas bagi Syauki mengapa dia melakukannya.
Dia tidak kekurangan teman, atau cinta, atau panggilan telepon masuk. Dia sering mendapat audio call.
Tapi ini adalah kebutuhan fisik yang murni. Dia sangat merasakan desakan agar ponselnya selalu dekat telinganya. Jika tidak di telinganya, jika dia tidak berbicara, atau mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan atau pernyataan penelepon, atau membuat rencana untuk bertemu pada waktu-waktu tertentu di hari-hari tertentu, dia merasa kehilangan. Dia merasa agak bukan dirinya sendiri.
Jadi dia berpura-pura menelepon. Dia akan mengangkat telepon dari saku celananya dan menjawab dengan "Halo?"
Dia akan berhenti sejenak dan menyela pada saat-saat yang tepat. Dia belajar, melalui pengamatan, bahwa beberapa panggilan hanyalah monolog, dan penerima hanya akan menatap ke ruang kosong sementara pembicara di menyemburkan kalimat-kalimat yang bijaksana. Dia sangat pandai dalam hal itu, sampai dia kadang-kadang lupa untuk melepaskan ponsel dari telinganya, membuat dia berjalan ke toko atau ke kantor dengan telepon masih menempel di telinga, basah licin karena keringat.
Pacarnya pernah bertanya dengan siapa dia berbicara, dan dia diam membeku.
Dengan siapa dia berbicara? Dia mati-matian memikirkan nama dan wajah dalam benaknya, tetapi situasinya saat itu---makan malam romantis---membuatnya sulit berpikir jernih. Jadi dengan terbata-bata dia menjawab, "seorang rekan kerja", yang justru membangkitkan kecurigaan pacarnya.
Belakangan ini dia sering kepergok sedang menelepon.
Pacarnya membanting garpunya ke piringnya di restoran.
Setelah kejadian itu, Syauki dengan hati-hati melakukan percakapan dengan ponsel pura-pura secara pribadi. Di bilik toilet, misalnya. Dengan celana melorot di pergelangan kakinya, dia akan meletakkan ponsel di telinganya. Tidak ada suara, kecuali suara berderak yang disebabkan oleh gendang telinganya yang berlubang.