Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Petunjuk Menata Ruang bagi Pengidap Fobia Sosial

9 Februari 2023   22:54 Diperbarui: 9 Februari 2023   22:55 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.powerofpositivity.com/social-phobia-signs/

Inilah aku yang sebenarnya. Aku adalah saudara dari kursi berlengan dan alas tiang lampu pencahayaan yang pintar. Aku tidak bisa dibedakan dari panorama sekitar.

Malam ini, aku menjadi kertas dinding, merah marun dengan pola obat nyamuk melingkar hitam. Gelap tetapi ada satu lampu pijar di sebelah kananku. Aku adalah sudut paling belakang dari kedai mewah di tepi barat kota, yang masih menyajikan bourbon di rak atas dalam gelas kristal.

Dia duduk di bar di bangku berkaki kuningan. Kakinya menjuntai di bawahnya, seolah anak kecil di ayunan. Mengenakan mantel wol warna abu rokok dan minum koktail sambil mengutak-atik payung kertas. Garis-garis pada syalnya terpuntir-puntir, biru dan hijau saling berfkelindan seperti arus air di atas bebatuan. Jenis rajutan tangan, hadiah dari orang tersayang, mungkin.

Jika dia melirik ke arahku, hanya untuk mengagumi dekorasi--lukisan pemandangan cat minyak dalam bingkai barok, perabotan kulit antik. Jika dia berjalan melewatiku, jika syalnya menyentuh ujung jariku, itu hanya karena aku berdiri di antara dia dan toilet berlantai marmer.

Dia harum seperti buah ceri. Aku berbau seperti lem kertas dinding dan asap tembakau.

***

Jumat larut malam, ketika sekumpulan orang dengan busana yang disesuaikan turun ke bar, dia duduk di sofa di sampingku. Bahu kami saling bersentuhan santai, seperti sepasang telur burung hangat di dalam sarang.

Itu kalau aku memiliki bahu. Padahal tidak. Aku jok kulit tua, cokelat kenari, dipoles sampai berkilau.

Aku adalah ornamen kuningan dan aroma gin tumpah. Aku adalah ara jejawi yang dipelihara dengan baik di meja ujung berkaki cakar. Bukan yang lain.

"Siapa namamu?" dia bertanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun