Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dua Hal yang Pasti dalam Hidup

2 Februari 2023   12:00 Diperbarui: 2 Februari 2023   18:04 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.ebay.com/itm/224802584390

Maut bertemu adikku yang cantik di jalan-jalan November yang licin. Dia akan menuai jiwanya yang cantik ketika dia melihat tubuhnya yang lebih cantik. Jadi alih-alih membawanya ke surga (atau tetangganya), dia mengajaknya keluar untuk minum.

"Dan kami bermain-main di sekitar Kota Tua selama empat belas jam berikutnya," katanya padaku. "Bisakah kamu percaya itu?" Entah bagaimana, aku percaya.

Maut datang saat Malam Tahun Baru dan merajuk di sudut dengan jaket kulit Garut dan wajah Reza Rahadian yang tirus. Dan meskipun dia tidak pernah makan mi kocok Mang Dadeng (ternyata Maut vegetarian, bisakah kamu percaya itu?), adikku selalu berkata, "Bukankah dia luar biasa? Dan sangat ganteng!"

Ketika mobilku masuk jurang pada bulan Februari, aku hanya menderita gegar otak. Aku bilang 'hanya'.

Tapi bukannya aku cemburu atau apa. Karena bulan April, aku bertemu dengan cintaku sendiri ketika Maut mengundang kami buka puasa bersama (dia Muslim taat, bisakah kamu percaya itu?).

Keluarga Maut seperti bayang-bayang kabur yang dilemparkan oleh pepohonan. Aku bertanya-tanya dengan keras apa nama mereka. "Perang? Kelaparan? Wabah?"

Adikku berkata, "Ssst! Jangan kasar!" Jadi aku mengambil kolak iftar untuk membatalkan puasa.

Ada orang sungguhan di sana, atau setidaknya seseorang yang mirip. Bukan bayangan atau manifestasi abstrak dari ide yang tak terduga, tapi manusia yang nyata, dengan kacamata dan potongan rambut yang biasa. Dia mengenakan dasi paling jelek yang pernah kulihat, yang kuputuskan untuk diabaikan saat aku menghampirinya dan berkata, "Hai, siapa kamu?" dan juga, "Bisakah kamu pindah? Kamu menghalangi gula merah."

Ketika dia menyingkir, langkahnya tanpa bobot yang aneh, seperti yang dilakukan Maut terhadap adikku yang cantik. "Saya abangnya Maut," katanya. Dia tahu, seperti aku, bagaimana rasanya menjadi saudara kandung yang kurang populer.

Aku menjawab, "Aku kakak ipar Maut, kurang lebih."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun