Dia meluruskan dasi jelek itu dan berkata, "Apakah kamu sampai di sini baik-baik saja? Bagaimana jalanannya?"
"Jalanannya sangat bagus," kataku padanya.
Itu membuatnya tersenyum. "Itulah yang saya pikir."
Dia memperhatikan aku memasukkan cairan gula merah ke cangkir kolak, dan mungkin dia mengira jari-jariku gesit, bagus untuk menekan layar ponsel atau kalkulator kecil. Dia pasti telah melihat sesuatu dalam diriku yang sangat ekonomis, karena dia mendorong kacamatanya ke atas lagi dan berkata, "Apakah kamu ingin keluar dari sini? Bolehkah saya mengajakmu keluar untuk minum kopi?"
Aku bilang boleh, dan dia mengajakku keluar untuk minum kopi.
Dia tidak keren seperti Maut. Dia bekerja sebagai seorang akuntan lepas. Tinggal di rumah pinggiran kota yang bagus dengan halaman rumput yang dipangkas rapi. Dia memberikan sumbangan rutin untuk amal dan memiliki kuitansi untuk membuktikannya.
Tapi dia memiliki pesona yang sama. Mata yang meliput  segalanya. Dia memiliki kulit yang lebih pucat, lebih lembut, lebih pintar, seperti bisnis.
Tangan Maut dingin, kata adikku selalu. Tapi saat pria ini meraih tanganku, jari-jarinya halus dan panas. Seperti kertas yang baru keluar dari mesin fotokopi.
Mereka mengatakan bahwa di dunia ini, tidak ada yang pasti, apalagi cinta. Tapi coba katakan itu pada adikku yang cantik dan Maut cinta abadinya.
Coba katakan itu padaku dan Pajak kekasihku, karena kami melaporkan SPT bersama setiap tahun.
Bandung, 2 Februari 2023