Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Naik Bus ke Pecinan

29 Januari 2023   18:27 Diperbarui: 29 Januari 2023   20:22 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://poskota.co.id/

Di bagian belakang pasar Petak Sembilan, aku menempelkan wajahku ke tangki berisi kodok, gundukan tubuh berkutil yang menggumpal. Aku bertanya kepada Ibu apakah aku bisa memiliki satu untuk menjadi hewan peliharaanku.

Setelah beberapa ayunan golok, kami membawa kantong plastik berisi puntung dan kaki kodok merah muda, kulit yang terkelupas, urat putih kecil mengilap berkilau.

Ibu melewati jalan-jalan Glodok yang ramai, aku berjuang di belakangnya untuk tidak tertinggal.

Kami naik metromini untuk pulang. Aku dan Ibu mendapat tempat duduk. Baru saja aku menarik napas, seorang wanita tua berdiri di depan kami, menepuk pundakku dengan tongkatnya, dan berkata, "Anak-anak yang baik memberikan tempat duduk mereka kepada orang tua."

Aku bangkit, tapi Ibu menarikku kembali. Kausku menggumpal di tangan Ibu. "Jangan dengarkan dia," kata Ibu dalam dialek Kanton.

Di rumah, Ibu menggoreng kaki katak dengan jahe dan daun bawang, dibumbui dengan saus cokelat gurih. Bibir Ayah berdecak, bernapas melalui mulut sambil mengunyah, terdengar seperti suara mesin sedot debu yang menekan tirai penutup jendela.

Aku menatap kaki kodok di piringku, tapi tidak makan.

"Tidak ada tempat di rumahku untuk anak laki-laki pemilih," kata Ibu.

Tetap saja aku tidak menyentuh swike itu, bahkan setelah Ibu menampar pipiku.

Aku tidak pilih-pilih, dan aku tidak peduli bahwa Kermit dan teman-temannya diamputasi dengan golok. Aku kelaparan, dan dengan saus cokelat Ibu, kaki-kakinya mungkin enak.

Aku marah karena dia tidak membiarkan aku memberikan kursiku di metromini untuk wanita tua itu.

***

Beberapa dekade kemudian, aku membersihkan rumah Ibu setelah kematiannya. Di dalam laci mejanya terdapat dokumen imigrasi palsu dan foto binatu di Harmoni tempatnya bekerja. Perhiasan emas berserakan di antara buku dan pakaian, simpanan untuk hari tua Ibu, tersembunyi dari pencuri dan perampok.

Aku duduk dalam TransJakarta 1A ke Glodok. Tujuanku membeli jeruk di Pasar Glodok yang kini namanya kembali menjadi Pasar Petak Sembilan untuk ditaruh di kuburan orang tuaku.

Aku menatap para penumpang yang berdiri. Mungkin ada yang membutuhkan tempat dudukku.

Bandung, 29 Januari 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun