Jari-jariku terasa dingin meski dalam sarung tangan rajut, mencengkeram lembar karton bertulis.
Aku tidak tahu apakah yang lain merasakan hal yang sama, tetapi yang kulakukan ketika meminta uang adalah memikirkan orang-orang yang melintas. Bagaimana perasaanku ketika melihat mereka masuk dan keluar dari kompleks gedung pencakar langit tergantung pada hari itu.
Terkadang, aku menilai mereka sebagaimana mereka menilaiku: mencari kekurangan mereka, cinta mereka, keraguan mereka dalam cara mereka bergerak dan cara mereka berpakaian.
Terkadang, aku memandang mereka dengan sia-sia untuk mencari jawaban mengapa kami diperlakukan berbeda, seperti anak yatim piatu yang bingung mengapa mereka tidak dicintai. Di lain waktu, aku membuat perbandingan dengan nada pengamat ketiga tanpa syak wasangka.
Seorang pria yang terlalu sibuk untuk memperhatikanku, mirip seperti cinta pertamaku di SMA.
Seorang lelaki tua, yang mengalihkan pandangannya dengan canggung, terlihat seperti kakek yang memberitahuku bahwa aku bisa menjadi apapun yang aku mau.
Seorang wanita penuh percaya diri, yang tersenyum iba, mengingatkanku pada apa yang aku rasakan di Masa Lalu sebelum....
Aku menggeser badanku di atas beton trotoar yang keras. Dingin keluar darinya seperti ingatan akan kecelakaan itu, dan mengatur ulang kakiku yang hanya separuh berfungsi.
Suatu kali, aku melihat orang-orang ini dan teringat akan siapa aku dulu.
Sekarang, aku melihat mereka, dan mereka tampak semakin jauh. Seperti aku berjalan menyusuri terowongan menjauh dari mereka, atau mereka adalah spesies yang sama sekali berbeda. Di dunia mereka, pemerintah tidak memberi mereka santunan difabel karena membiarkan mereka mati akan terlihat buruk di atas kertas. Di dunia mereka, orang tidak mempertanyakan apakah mereka pantas diberi makan.