Rumah, kamu persis seperti ketika aku meninggalkanmu: bungkuk, diterangi oleh bulan yang bersisik, melindungi anak yang berjongkok di ruang bawah tanahmu di antara tikus-tikus yang berlarian, burung camar menukik di matamu yang tak tergoyahkan, kebun mawar terhampar di depanmu, diapit oleh tembok batako, dpenjara dengan kokoh oleh pagar besi, jejak kaki mengarah ke laut yang melenguh. Mengembang dalam nila dan perak cair di sepanjang pantai yang terbuat dari kaleng soda, kantong plastik, dan gundukan kerikil yang berisik. Semuanya menyenandungkan tentang kamu.
Aku berjalan melalui pintu depan. Tidak tertekuk seperti biasa, berayun dari bingkai yang lapuk. Aku tahu di mana jebakan dan jalan buntumu mengintai. Kakiku menemukan jalan dalam kegelapan yang mendesis, menaiki tangga sempit, ruang yang berliku-liku dan berdenyut. Dindingmu meremas pinggul, membuatku tetap tegak, mendorongku ke depan. Aku adalah tulang ikan yang tersangkut di tenggorokanmu.
Kamu memuntahkanku ke Anda yang paling atas, tepat aku pernah berada di nada yang melengking, mencengkeram udara tipis di atas duyung yang melemparkan badai, gelombang semi gelombang dalam kamar kecil ini, di bawah kasau yang mengerang.
Tiga langkah menuju lemari yang sudah keropos menimbun bagian vital, tergantung di sana tempat aku menyimpannya, tetapi kamu telah memompanya dengan keras, melengkung dan melepuh sekarang dan kawat yang ku silangkan dan simpul mau tak mau menghitam dan tertanam dalam. Mencengkeram gunting tajamku, aku memotong ikatan yang mengikatku, dengan hati-hati, satu per satu. Bekas luka yang membandel terungkap, dan jejak roda bernanah--aku akan menjilat luka ini dan memakainya, membentuk karapas: baju besi yang diasah dalam pertempuran. Aku menggunting utas terakhir yang tersisa dan harta karun jatuh ke telapak tanganku.
Rumah, kamu menabrakku, banjir dari pintu: banjir barang rusak. Tapi aku punya tujuanku untuk datang, sekarang biarkan aku pulang.
Pancawati, 10 Desember 2022