Malin menutup lubang telinganya dari jerit kebencian makhluk bayangan terhadap pisser, kebencian sedalam yang dimiliki kaum Timur lainnya. Mungkin dia dan mereka tidak begitu berbeda saat itu. Tidak ada manusia Dunia Timur yang kebal terhadap amuk pisser. Namun tetap saja Malin tidak akan mengakui hubungan kekerabatan dengan kaum bayangan. Tidak mungkin. Kejamnya mereka melampaui kekejian setan.
Jeritan bayang-bayang menyusut menjadi hening. Muka Pucat mengalihkan bidikan mereka ke Malin dan teman-temannya. Secara naluriah, Malin melirik ke arah Musashito untuk melihat ide apa yang muncul di kepala kendi yang bingung itu.
Muka pucat telah meninggalkannya sendirian untuk bertempur melawan bayang-bayang, namun lelaki tua itu tidak menunjukkan kecenderungan untuk bertarung dan melawan musuh. Alih-alih, dia berdiri di kedai, cukup jauh, dengan kotak besar di tangannya seperti batu tulis versi besar. Mengkilap dan merah cerah. Permukaan bersinar dengan dan berkedip bagai kumpulan kunang-kunang.
"Ah, pelacaknya," kata Jarum, mencoba meraih benda licin di tangan si tua.
Musashito mundur menjauh dari jangkauan si jangkung. Orang tua bodoh dan komandan Muka Pucat bergumul, menendang dan memukul, sampai akhirnya Musashito berteriak. "Jangan sembarangan! Biar aku yang menangani ini!"
A-apa? Musashito kaki busuk Dunia Barat?
Wajah Malin merah saga bagai ditampar dengan papan cucian. Pedih. Dia sama sekali tidak pernah menyangkan lelaki tua itu sebagai mata-mata pengkhianat yang menghamba ke musuh. Itu sangat mengingatkannya pada malam ketika Angku, ayahnya, mengkhianatinya. Malin tidak sepenuhnya mempercayai apa yang tak terkatakan di hadapannya. Rahangnya menggantung menganga. Pandangannya menatap nanar.
"Musashito?" Dia ingin lelaki tua itu menyangkalnya. untuk memberikan beberapa penjelasan selain apa yang sudah jelas.
Malin berjuang untuk bangkit. Tendangan kaki Kantung Umbi menjatuhkannya ke samping. Terengah-engah dan mendengus, dia berputar sampai dia bisa memelototi Musashito. Mungkinkah lelaki tua itu berpura-pura menjadi sesuatu yang bukan dirinya selama ini? Mungkinkah dia membodohi semua orang seburuk ini? Tampaknya tidak begitu, tetapi kenyataan berbicara dengan bahasa yang berbeda saat ini.
Malin meludah. "Bajingan!"