Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Penyihir Kota Kembang: XI. Gambit Menteri (Part 2)

5 November 2022   17:00 Diperbarui: 5 November 2022   17:10 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim

"Begitu lahir ke dunia, Marasitha sudah menjadi penyihir yang berbahaya," kata perempuan itu. "Kekuatan semacam itu, bahkan tanpa diinisiasi? Kekuatan yang masih terlalu mentah dan terlalu berbahaya jika dibiarkan. Ada penyihir seperti itu, penyihir yang memiliki kekuatan gaib dalam darahnya tanpa membutuhkan bimbingan atau komunitas. Para penyihir itu harus dibungkam.

"Dia anak baik," desis Agung, menatap kipas langit-langit yang berputar dan berputar. "Dia adalah hal terbaik yang hadir dalam keluarga kami."

Perempuan itu mengangkat bahu. "Sejujurnya aku tidak peduli ikatan perasaan apa yang kamu miliki dengan dia." Dia diam sejenak. "Tetapi kamu akan menemukan bahwa semakin mencoba mengingatnya, semakin banyak pikiran tentang dia yang hilang. 

Itulah bukti seberapa hebat sihirnya. Kekuatan gaibnya mempengaruhi alam bawah sadar orang-orang di sekitarnya. Dia harus mati hari itu di Desa Gajah, dan akulah yang harus membunuhnya."

Agung menatapnya dengan napas memburu. Di depannya adalah wanita yang mengambil semuanya dari mereka, dalam satu malam, dengan satu tindakan.

"Siapa namamu?" Dia bertanya sambil menodongkan pistol ke dahi perempuan itu.

"Nira," katanya. Niranjana.

"Aku telah mencarimu selama sepuluh tahun. Kenapa aku tidak bisa menemukanmu?"

"Penyihir telah ada di negeri ini selama berabad-abad. Kami tahu bagaimana menyembunyikan diri."

Dia menatap papan catur yang terletak di atas meja. "Permainan yang bagus," katanya sambil mendongak. "Tapi aku tidak pernah menyukainya. Aku lebih suka bertarung. Pertanyaanmu, Agung, tanyakan saja. "

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun