Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suara Jiwa

5 Oktober 2022   19:30 Diperbarui: 5 Oktober 2022   21:15 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku membeli jiwa seorang perempuan hari ini. Rambut putihnya bernoda nikotin. Kerutan wajahnya seperti garis patahan lempeng bumi simpang siur di wajahnya. Dia kehilangan tiket busnya, jadi aku menawarkan untuk menanggung ongkosnya, tetapi dia bersikeras aku mendapatkan sesuatu sebagai balasannya. Seratus tiga puluh ribu untuk jiwa yang begitu tua.

Dia menyimpannya di tas tangannya, dalam kotak satin ungu yang cukup besar untuk sebuah cincin kawin. Aku mencoba menolak, mengatakan kepadanya bahwa aku akan dengan senang hati mengikhlaskan bantuan sekecil itu, tetapi dia menekannya ke tanganku, mengatakan hanya itu yang dapat dia tawarkan.

Kepalanya mengangguk tajam dan setengah tersenyum ketika pintu bus diam-diam menutup dan aku melihatnya bus pergi menempuh perjalanannya, sementara aku menunggu perjalananku dimulai. Aku memasukkan kotak itu ke dalam sakuku.

Ketika transportasiku tiba aku mencoba tenang dan mendengarkan musik, tetapi jari-jariku terus membelai kotak perhiasan berbahan mewah itu, khawatir akan isinya.

Aku berencana untuk meninggalkannya di saku jaket ketika hendak bekerja, hanya akan mmemikirkannya ketika di rumah. Tetapi tidak bisa berhenti memikirkannya, bertanya-tanya seperti apa rupa dan rasanya.

Kuletakkan kotak itu di mejaku. Jemariku masih menyentuhnya seolah tak tega melepaskannya. Benda itu mulai mengeluarkan suara yang meraung tajam, seperti hewan yang terluka. Mungkin itu normal untuk jiwa. Aku tidak akan tahu.

Aku menarik napas dalam-dalam dan merasakan kosong menyebar dan mendorong tulang rusukku hingga lepas. Aku meraih pisau pembuka surat dari perak, benda lain yang kusangka takkan pernah kugunakan, dan menguji ujung tajamnya.

Kotak itu membakar jari-jariku, tetapi tetap tak bisa melepaskannya. Getarannya semakin keras, membuatku mengernyitkan mataku dan menggertakkan gigiku. Aku membuka tutupnya, mencengkeram pisau dan bersiap untuk memberi ruang untuk sesuatu yang tak pernah kuketahui telah hilang dariku.

Bandung, 5 Oktober 2022

Sumber ilustrasi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun