Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Legenda Sang Perusak (Bab 22)

27 September 2022   10:00 Diperbarui: 27 September 2022   10:01 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim

Berhenti sejenak untuk mengusap ingusnya, Kuntum bertanya, "Kamu ingin makan atau minum, Halida? Mungkin kamu sudah litak mendengar ceritaku, dan aku perlu minum sebelum bisa melanjutkan ini."

"Yah, ya. Kurasa secangkir kopi cukup untukku. Jujur saja, aku tidak menyangka ceritamu akan sejauh ini, dan keliahtannya akan menjadi pembicaraan yang panjang."

Sambil tersenyum lebar, Halida mencoba menghaluskan apa yang baru saja dia katakan. "Jangan salah paham, sayang. Aku akan mendengar semua yang akan kamu katakan kepadaku. Dari situ baru aku melihat apakah aku dapat membantu. Kamu tahu, terkadang memang hanya perlu melihat sudut pandang orang lain untuk mencari tahu apa masalahnya."

Kuntum berdiri dan berjalan keluar ruang tamu sambil berkata, "Tunggu sebentar, Halida. Aku akan membuatkan kopi. Apakah perlu ditambahkan gula atau susu?"

"Aku terbiasa minum kopi hitam, Kuntum. Membuatnya gampang dan dan paling pas untukku."

Beberapa menit kemudian, Kuntum kembali ke ruang tamu dengan dua cangkir kopi dan sepiring kue. Kembali duduk di sofa, tanpa membuat waktu dia memulai ceritanya. "Tadi sampai di mana? Oh ya, aku ingat. Akhirnya, ayah Gumarang meninggal dan pada saat itu aku merasa seperti dia seperti menjauh. Yang aku miliki saat itu hanyalah Awang, dan segalanya menjadi sedikit lebih baik karena dia mulai menghabiskan lebih banyak waktu denganku daripada mobilnya.

Kecemburuannya membuatku gila. Terkadang aku terlalu khawatir, mungkin ini penyebab utamanya dia suka mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi. Meskipun dia tidak pernah mengemudi dengan sembrono atau melakukan hal bodoh saat aku berkendara dengannya, tapi aku bisa membayangkan seperti apa dia saat sendirian, dan itu benar-benar membuatku takut.

Kemudian sekitar empat tahun yang lalu, ibundanya meninggal secara tak terduga. Ayahnya meninggal saat dia masih duduk di bangku sekolah menengah atas, kalau tidak salah karena serangan jantung atau semacam itu. Bagaimanapun, ibundanya adalah satu-satunya yang dia miliki, dan ketika dia meninggal, membuatnya sangat terpukul. Puan Lina Dermawan baru berusia lima puluh tujuh tahun, dan kematiannya sama mengejutkannya dengan kematian suaminya. Ibunda Awang telah berusaha untuk menjual rumah duka di sebelah sejak kematian suaminya dan di sanalah dia meninggal. Dia sedang menunjukkan tempat itu kepada calon pembeli ketika dia entah bagaimana terpeleset dan jatuh dari tangga. Pria itu membawanya ke rumah sakit terdekat, tetapi tidak ada yang bisa mereka lakukan untuknya. Dia meninggal karena pendarahan otak tak lama setelah tiba di ruang gawat darurat."

Halida meringis. Dia satu sekolah dengan kedua orang tua Awang sebelum pindah ke Kuala Lumpur bersama orang tuanya. Ingatannya tentang mereka masih seperti saat masih kecil dulu, dan membayangkan mereka sekarat adalah pemikiran yang menakutkan.

"Kuharap kamu tidak menganggapku berlebihan atau bodoh, tapi sejak kematian Puan Lina, aku tidak pernah menginjakkan kaki di tempat itu. Ada sesuatu tentang tempat itu yang membuat bulu tengkuk meremang. Terasa ada yang salah. Aku belum memberitahumu ini sebelumnya, tapi di sanalah mereka menemukan ayah Awang bertahun-tahun yang lalu. Awang menemukannya terguling dan sudah meninggal pada suatu malam sepulang sekolah di salah satu kamar belakang. Kedua orang tuanya telah meninggal di tempat tua yang menyeramkan itu, dan kami tidak tahan dengan kenyataan bahwa kami masih memilikinya. Awang juga tidak akan pergi ke sana lagi. Kurasa dia bahkan tidak pernah ke sana sejak dia menemukan ayahnya meninggal. Kurasa dia takut dia akan mati di sana juga jika dia kembali. Meskipun terdengar konyol, aku juga mulai merasakan ketakutan yang sama."

BERSAMBUNG

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun