Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jalan Air

18 September 2022   15:45 Diperbarui: 18 September 2022   15:47 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di bawah langit senja tanpa cahaya jalan bersinar. Pendarannya dicuri dari matahari terik siang yang telah berlalu.

Dia duduk diam di bangku, tangan terselip di bawah paha. Punggung melengkung untuk menjadikan dirinya kerdil. Orang-orang bergegas, melirik, dan lanjut bergegas lagi. Sebelumnya, mereka bisa saja berhenti, melihat apakah dia baik-baik saja, bertanya apakah dia ada di gedung itu, gedung yang terbakar. Tapi sekarang mereka hanya ingin pulang selagi masih bisa.

Dia juga harus pulang. Air menggenang di sekitar kakinya. Tidak, lidah air tidak menjilatnya. Tidak ada tarik-dorong, masuk-keluar, hanya riak gelombang air merayap, naik sedikit demi sedikit.

Berapa lama sebelum seluruh kota merasakan banjir?

Dia masih bisa mencium bau asap. Bahkan lidahnya merasakannya juga. Air dari gelombang laut pertama telah masuk ke ruang bawah tanah gedung kantornya. Korsleting listrik. Aneh bagaimana air bisa menyebabkan kebakaran.

Ayahnya pernah memberitahunya ketika dia masih kecil, air akan selalu menemukan jalannya. katanya ketika mereka berdua menatap air yang menetes melalui fitting lampu di langit-langit dapur, air selalu mengambil jalan dengan halangan terkecil. Air yang diharumkan dengan gelembung wangi, meluap dari bak mandi di lantai atas. Ayahnya telah memanggil pemadam kebakaran dan kemudian mendobrak pintu kamar mandi. Tidak perlu terburu-buru.

Kebakaran di kantor tadi siang cepat sekali padam. Armada pemadam kebakaran yang sibuk dengan karung pasir dan pompa di tepi pantai, lambat tiba, deru mesin mereka dan raungan sirene mereka ditenggelamkan oleh gemuruh dinding roboh yang baru dimulai. Bangunan itu runtuh dan terlipat ke dalam. Tidak semua orang keluar hidup-hidup.

Dia memikirkan ayahnya, yang sudah tua sekarang, menunggunya pulang. Menunggu seperti yang dia lakukan setiap malam dengan nasi dingin, lauk hambar, sayur asin, dan teko teh menunggu di meja dapur.

Langit-langit di atas dapur masih tetap bernoda.

Dia memikirkan mayat-mayat di gedung itu. Mayat-mayat yang bukan mayat lagi, hangus menjadi arang tidak bisa dikenali. Tidak ada yang tersisa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun