Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Legenda Sang Perusak (Bab 7)

12 September 2022   11:00 Diperbarui: 12 September 2022   11:45 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim

Setengah siuman di dalam mobil tak lama setelah meninggalkan Tesso Nilo, Awang dengan keras menolak untuk dibawa ke rumah sakit. Masih sedikit pusing dan bingung, tetapi itu hanya menambah ketegaran dan perlawanannya sehingga membuat Kuntum tidak punya pilihan selain membawanya pulang. Dia nyaris gagal memapahnya ke tempat tidur sebelum suaminya kembali hilang kesadaran dan tidur sepanjang sisa hari dan sepanjang malam, nyaris tak bergerak dalam tidurnya.

 Kuntum berbaring di sampingnya, cemas dan terjaga selama separuh malam, bertanya-tanya apakah dia telah melakukan hal yang benar dengan membawa suaminya pulang seperti yang dia minta. Tadinya dia percaya dia tidak punya pilihan, tapi sekarang dia tidak begitu yakin.

Awang memulai hari keesokan paginya dengan semangat seperti layaknya seorang lelaki yang menderita cedera kepala. Dia berbaring di tempat tidur selama beberapa jam setelah alarmnya berdering. Kepalanya berdenyut kencang jika dia bergerak, sehingga dia berpikir untuk menelan pil pereda nyeri.

Ketika dia akhirnya benar-benar bergerak, dia merasa seperti mainan rusak, bergerak dengan gemetar dan mengeluarkan suara mendesah lucu. Dia tidak berpikir akan bisa menangani satu-satunya praktik medis di Taluk Kuantan hari itu, dan mungkin tidak untuk beberapa tahun lagi. Dia sangat membutuhkan cuti sebentar, dan koma tidak dihitung sebagai liburan dalam bukunya.

Sakit kepala ini tak mungkin sembuh dengan sendirinya, dia bergumam pada dirinya sendiri ketika akhirnya berguling keluar dari tempat tidur untuk mencari udara segar.

"Kuharap ada yang mau membeli bangunan terkutuk di sebelah. Bangunan itu terpelihara dengan baik seperti dari awal pembangunannya. Kadang-kadang aku benci kota ini. Bangunan seperti itu tidak akan pernah kosong di kota yang sebenarnya."

Mengingat apa yang baru saja mereka alami sehari sebelumnya, Kuntum agak terkejut tapi jelas tidak kaget dengan topik yang pertama kali keluar dari mulut Awang.

"Mengapa kamu tidak lupakan saja tempat itu dan membiarkan pialang yang menanganinya?" tanyanya bergumam kelelahan, tetapi tidak bisa kembali tidur karena gumaman Awang memenuhi telinganya untuk kesembilan ratus kalinya dalam beberapa tahun terakhir. Dia akhirnya menyerah pada keinginan untuk tidur dan menjejakkan kakinya ke lantai.

Masih bergumam, Awang melanjutkan. "Karena 'pialang' yang hebat itu telah mencoba menjual tempat itu dari delapan tahun yang lalu. Kalau sudah laku, kita bisa menggunakan uang penjualannya untuk membayar pinjaman untuk pendidikan spesialisku. Kamu tahu itu, kan, Sayang?"

Kuntum tahu dia juga berhak untuk mengeluh karena hal yang sama berputar-putar di benaknya hampir setiap saat akhir-akhir ini. Ketika mereka menikah empat tahun sebelumnya, mereka berasumsi bahwa rumah duka Dermawan yang kuno akan terjual dan membantu mereka secara finansial selama tahun-tahun pertama mereka. Atau, setidaknya membantu sampai praktik medis Awang berjalan lancar.  

Kini semuanya tampak seperti mimpi besar yang naif. Untunglah rumah itu sudah menjadi warisan bersama dengan rumah duka, sehingga setidaknya mereka punya tempat tinggal yang layak.

Tetapi perjuangan sehari-hari untuk mempertahankan kedua properti sambil bertahan hidup, sementara mereka mencoba untuk mendapatkan penghasilan yang mengalir ke rekening memberikan tekanan yang luar biasa pada pernikahan mereka yang semakin memburuk.

"Sarapan dulu sebelum ke klinik?" dia bertanya sambil mengenakan kimononya, berjalan menuju pintu, dan mencoba menyingkirkan masalah keuangan yang terus membayangi benaknya.

"Mungkin sebaiknya begitu. Jika aku bisa menghilangkan sakit kepala ini, aku akan turun sebentar lagi."

Saat kakinya menyentuh lantai kayu batang kelapa tanpa berkarpet di lantai lorong, pikiran Kuntum terus-menerus memikirkan rumah duka di sebelah. Mereka perlu membongkar bangunan sialan itu untuk mengurangi beban kehidupan mereka.

Tampaknya tidak mungkin, atau setidaknya, tidak baginya.

BERSAMBUNG

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun