Gadis kecil itu berlari di depan orang tuanya yang benar-benar tenggelam mengamati papan pengumuman. Dia tidak punya waktu untuk papan pengumuman. Dia menginginkan hal yang nyata.
Hutan itu sepi, jauh terpisah dari gadis itu dan orang tuanya. Hari larut dalam badai dan wisatawan lainnya telah pindah ke hotel dan wisma. Ibu dan ayahnya ingin melakukan hal yang sama, tetapi petualang kecil mereka sangat pintar meyakinkan.
Dan memang seharusnya begitu, pikirnya dalam hati. Tidak setiap hari orang bisa melihat keajaiban alam seperti itu.
Gemuruh membahana di langit saat gadis itu memasuki lapangan terbuka. Matanya membelalak karena gembira.
Di depannya, megah dalam kesendirian, tegak berdiri pohon terbesar yang pernah dilihatnya dalam hidupnya. Dia telah membaca bahwa pohon itu berumur dua ribu tahun. Dia telah membaca bahwa tingginya sama dengan gedung empat lantai.
Tapi apa yang dia baca yang tidak mempersiapkannya untuk apa yang dia rasakan saat itu.
Pohon itu membuatnya kerdil.
Dia harus mendongak sampai lehernya sakit untuk melihat puncaknya. Saat dia melakukannya, dia kehilangan jejak semua yang terjadi di sekitarnya. Dia tidak mendengar guntur semakin mendekat, tidak merasakan air hujan membasuh wajahnya, tak goyah oleh angin yang menyentak di setiap jengkal tubuhnya. Tapi dia melihat. Dia melihat pohon itu.
Gadis itu perlahan bergerak maju, melangkahi pagar yang mengelilinginya, dan meletakkan tangannya di atasnya. Rasanya sejuk saat disentuh. Kuat. Bijak. Kaya pengalaman. Dia meletakkan tangannya yang lain, lalu menutup matanya dan mendengarkan.
Apa yang dia dengar adalah suara-suara samar dari masa lalu, raungan hewan liar, tetapi yang terbanyak adalah detak jantung yang lambat dan stabil. Jantung pohon.