"Maaf."
Dia merogoh karungnya dan mengeluarkan sebuah amplop tipis dengan lambang Universitas Nusantara dan namaku.
"Eh," katanya. "Eh, ini kecil. Saya ingat ketika menerima amplop Universitas Nusantara saya. Tebalnya sepuluh sentimeter. Ibu saya menggunakannya sebagai talenan untuk memotong daging."
"Bapak kuliah di Universitas Nusantara?"
"Benar sekali." Dia membuka kancing bagian atas jaketnya untuk memperlihatkan kaus alumni Universitas Nusantara 2004.
"Bapak mengambil jurusan apa?"
"Komunikasi."
Dia menutup karungnya dan melanjutkan. "Jangan putus asa, Nak," katanya dari balik bahunya, tapi aku mendengar bunyi kekeh tertahan dari balik kumisnya yang mirip saringan kopi.
***
Aku menelepon Sarkawi dan sepakat untuk bertemu dengannya di kafe kontainer Janji Palsu. Sungguh, aku tak ingin berada di rumah ketika papaku kembali dari kantor dan mengetahui bahwa aku gagal menjadi mahasiswa di almamaternya ketika mencoba masuk lewat jalur undangan. Sarkawi juga mendapat undangan dari Universitas Nusantara. Dia peringkat satu di sekolah kami.
"Gue ditolak," katanya.