Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Selimut untuk Pengungsi

9 Desember 2021   21:01 Diperbarui: 10 Desember 2021   20:46 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kejadiannya lama sebelum semuanya menjadi lebih jelas. Awalnya di mulut bagian dalam, wajah memerah, menyebar hingga ke lengan bagian bawah dan menjangkau ujung jari terus ke punggung dan di titik-titik keringat di ketiak dan di selangkangan. Bengkak bernanah, mengeras dan pecah-pecah, mengubah kulit wajah dan membuat pembawanya tidak dapat dikenali lagi.

Tapi itu baru tampak luar. Di dalam, mereka mencengkeram organ, menimbulkan rasa panas, hiatus sementara sebelum membawa kematian, atau lebih dulu dimatikan oleh prajurit dan polisi yang ditugaskan menghambat laju wabah.

Dan ketika bisul-bisul mungil itu meletus, terjadinya di dalam, tetapi penularannya datang dari luar terlebih dahulu, dan neneknya, simbah-nya, tak ingin meninggalkannya.

Mimi merasakannya di mulutnya. Dia terlambat. Saat siklus kematian berakhir, saat mayat ditumpuk tanpa pemulasaraan, hanya sedikit yang tersisa untuk sekadar membacakan doa, apalagi untuk salat jenazah.  Tidak ada yang cukup sehat untuk melakukannya.

Jadi sekarang 'itu' ada di dalam dirinya. Dan juga di sekelilingnya. Sekarang 'itu' akan menjadi dia.

Dia mengangkat wajahnya, menatap melalui papan dan lubang di atap, ke langit yang sepucat laut yang dingin dan cerah.

Ala tenan.

Di dalam kompleks barak, pohon cemara dan jelaga tumbuh bersama-sama.

Dia berbaring meringkuk dalam selimut tebal bantuan untuk pengungsi dengan rambut dikepang ketat di kulit kepalanya. Sulur-sulur keringat menetes ke punggung. Kulitnya merah muda seperti bunga liar yang tumbuh di antara eceng gondok dan jari-jari perempuan penganyam.

Dia memikirkan pohon kayu busuk di sepanjang aliran mata air. Kumbang tanduk mencari larva serangga, bunyi gemericik air disertai berbau anyir. Dan bagaimana mulutnya melebar dan malu-malu. Selimut mereka menyelubungi satu sama lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun