Aku tidak memperhatikan dia sebelumnya. Disibukkan dengan harapan untuk terhubung dengan seorang idola, aku tidak menyadarinya atau pengagum lainnya. Rambut cokelatnya di kuncir kuda yang berantakan, memberi aksestuasi untuk mata bulandar yang mencolok. Sepertinya aku hanya tak melakukan apa-apa selain menatapnya, bingung.
"Kamu ingin melewati tanya jawab dan keluar minum kopi?"
Aku bengong memikirkan apa maksudnya. Aku ragu tapi balas tersenyum.
"Aku akan menganggapnya sebagai ya," dia menyindir dengan seringai licik dan mata yang menggoda, membuat wajahku merona merah. Di antara kepingan harga diriku yang berserakan, aku mungkin telah menemukan permata yang berkilau.
Beberapa saat kemudian, kami berada di kafe pusat konvensi dan dia duduk di seberangku sambil mengaduk chai latte. Di suatu tempat di gedung itu, diskusi panel sedang berlangsung dan kerumunan penggemarnya mungkin ramai mengangkat jari telunjuk dan melontarkan pertanyaan demi pertanyaan, tetapi yang bisa kulakukan hanyalah menelusuri garis wajahnya di benakku saat kami berbicara.
Akhirnya bibirku bergerak. "Aku merasa seperti orang idiot. Seperti kita akan bertukar nomor telepon dan mengirim pesan satu sama lain di akhir pekan..."
"Aku tahu maksudmu," jawabnya. "Aku berhenti mengkhawatirkan siapa yang akan kutemui dalam situasi ini," dia berhenti sejenak, mengedipkan mata kristal yang menawan itu, "dan bertanya-tanya siapa yang akan kudapatkan sebagai gantinya." Dia berhenti dan mengerutkan hidungnya saat menyesap isi cangkirnya. "Terlalu banyak kapulaga."
Di suatu tempat di kejauhan terdengar sorak sorai dari aula yang penuh sesak, tetapi itu hanya suara latar yang teredam. Di sini aku menyadari, pada saat ini, bahwa tidak ada alasan yang penting yang membuatku datang. Ini akan menjadi pertemuan yang kukenang kembali seumur hidup.