Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menunggu

2 Agustus 2021   21:13 Diperbarui: 2 Agustus 2021   21:16 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku bisa berdiri dan menunggu sepanjang hari di sini, jika itu yang mereka ingin aku lakukan.

Tembok pagar di belakangku tingginya pas untuk bersandar. Angin sejuk dan matahari tersembunyi di balik awan. Bahkan, seandainya langit cerah tak berawan, tabir surya yang kupakai cukup untuk menyelamatkanku dari ledakan nuklir. Terima kasih, Bu!

Pemandangan sempurna laut Teluk Jakarta yang biru jernih. Silakan mereka terus berjalan menyusuri pantai tanpaku. Aku tidak akan mengejar. Aku baik-baik saja di sini.

Tidak, aku menunggu di sini sampai mereka kembali dan meminta maaf. Lagi pula, mereka tidak tahu aku bisa melihat mereka dari balik kacamata hitamku. Aku bahkan tidak perlu menoleh, karena .... apa sebutannya? Oh, ya, sudut pandangku sangat lebar.

Aku bisa melihat mereka berjalan sangat lambat. Itulah sebabnya aku tahu bahwa mereka tidak benar-benar ingin meninggalkanku di sini.  Setiap saat mereka bisa saja berbalik dan kembali lalu meminta maaf.

Aku bisa melihat Ibu membungkuk untuk mengambil kerang, dan aku bisa melihat Ayah melihat ke laut melalui teropongnya, seperti ada sesuatu di luar sana untuk dilihat, maksudku, aku sendiri sedang melihat laut yang sama, dan lautan itu kosong, bahkan tidak ada perahu kecil di sana.

Aku tahu ini karena pandangan lurus ke depanku bahkan lebih baik daripada sudut pandangku yang lebar, bahkan mungkin lebih baik daripada teropong Ayah.

Mungkin Ayah hanya mencari tempat di mana dia bisa menenggelamkan adikku yang bodoh, karena itulah yang pantas dia dapatkan setelah apa yang dia katakan padaku. dan Ayah tahu itu.

Bocah kecil itu, aku juga bisa melihatnya dari sudut mataku, berlari masuk dan keluar dari air dengan bahagia, tidak peduli bahwa aku di sini, menunggu.

Aku kira aku harus mengakui juga bahwa aku yang memulai masalah dengan adikku. Namun aku bersumpah, aku tidak bermaksud sama sekali kali ini. Yang aku lakukan hanyalah menginjak bagian belakang sandal jepitnya dan membuatnya jatuh tertelungkup ke pasir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun