Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Tagihan

31 Juli 2021   19:00 Diperbarui: 3 Agustus 2021   22:00 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Biar saya jelaskan secara singkat.

Ayah saya biasa membayar tagihan dua kali dalam sebulan, yaitu pada tanggal lima dan dua puluh. Kecuali salah satu dari hari-hari itu jatuh pada hari Minggu, dalam hal ini dia akan membayar pada hari Senin berikutnya.

Pada hari-hari lain yang jatuh di luar kedua tanggal tersebut, dia menolak untuk memikirkan tagihan, bahkan tidak membuka amplop yang dikirimkan melalui pos. Ayah hanya meletakkannya di tumpukan di nakas kamar tidur tamu (Ayah menyebutnya "ruang kerja").

Keuntungannya adalah, hanya setiap dua minggu sekali kami harus mempersiapkan diri untuk bersiap-siap saat Ayah menghadapi ujian dari setumpuk kertas.

Di malam hari setelah makan malam, Ayah akan membuat sendiri seketel kopi kental di dapur dan membawanya ke "kantornya", menutup pintu di belakangnya.

Kami sekeluarga tidak mengetahui apa yang dilakukan Ayah di balik pintu tertutup itu, tetapi pasti cukup sulit baginya. Kami bisa mendengar suara pertempuran menembus daun pintu kamar tidur tamu, bahkan meski kami menutup telinga.

Ada suara kertas robek saat amplop dibuka, lalu kadang-kadang suara telapak tangan memukul meja dengan putus asa, diikuti dengan nama-nama margasatwa, dan seruan, tujuh puluh sembilan ribu enam ratus rupiah?

Kemudian lebih banyak bunyi robekan kertas, lebih banyak nama hewan, seratus dua puluh tujuh untuk telepon, delapan puluh sembilan ribu dua ratus untuk air, sembilan puluh sembilan ribu sembilan ratus sembilan puluh untuk listrik, demi Tuhan!

Tiap sebentar, kami mendengar Ayah mendorong mundur kursinya dari meja. Kami semua berhamburan menghilang sebelum dia membuka pintu untuk mencari salah satu anggota keluarga yang telah memboroskan uangnya. Dan karena tidak menemukan seorang pun dalam jarak pandangnya, Ayah akan meneriakkan beberapa perintah secara acak: matikan lampunya! Kalian pikir uang tumbuh di pohon, hah?

Sesekali, Ayah akan menemukan tagihan yang menurutnya terlalu berlebihan, dan kami akan mendengarnya berteriak: Linda! Ke sini!

Ibu saya, yang biasanya duduk di sofa di ruang keluarga membaca koran kuning atau tabloid wanita, akan menghela napas panjang dan bangkit. Dia akan membuka pintu "ruang kerja" dan melangkah masuk. Ya, sayang?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun