Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Filsuf

15 Juni 2021   19:25 Diperbarui: 15 Juni 2021   19:57 481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Di mana aku?"

Sang Filsuf dalam kehampaan mutlak, meletakkan tangan di depan wajahnya. Dia tidak bisa melihat tangan itu, tetapi bisa mengetahui lokasinya dalam kaitannya dengan kepalanya. Dia mengepalkannya, merasakan tekstur kukunya di telapak tangannya, lalu membiarkan jari-jarinya meregang kembali.

Dia mencubit dirinya sendiri. Dia memiliki tubuh yang bisa merasakan sakit dan merasakan. Dia kemudian bertanya-tanya bagaimana mungkin dia mendengar dirinya berbicara. Tapi itu hanya salah satu dari banyak pertanyaan yang membanjiri pikirannya.

Dia melangkah maju. Tidak tampak permukaan untuk diinjak, namun dia tahu dia telah berpindah dari satu titik di ke titik berikutnya. Sejauh mana, dia tidak tahu. Tapi itu bisa saja pikirannya mempermainkannya. Untuk semua yang dia tahu, dia bisa jatuh untuk selamanya. Tetapi untuk jatuh, gerakan harus ada, dan ruang bagi gerakan untuk bergerak.

"Tempat apa ini?"

Diam. Dia harus memikirkan semuanya sendiri. Tapi bagaimana dia bisa mengidentifikasi sesuatu yang tidak bisa dilihat, disentuh, didengar, atau dicium? Ketika semua yang dia miliki sebagai referensi adalah dirinya sendiri? Di sekelilingnya adalah kehampaan, sama sekali tidak ada.

Itu saja. Dia ada dalam kehampaan. Kemudian pikiran itu membawanya ke pikiran lain.

"Aku ada."

Dan jika dia ada di sini, pasti orang lain juga ada. Tapi dia merasakan kesalahan pada alasan itu begitu dia memikirkannya.

"Aku sendirian."

Dan pengetahuan itu membuatnya menangis. Untuk berapa lama dia tidak tahu, tidak pada awalnya. Kemudian dia mulai menghitung waktu. Sejumlah besar waktu berlalu dalam kesedihan karena kesepiannya. Kalau saja ada cara untuk melarikan diri dari kegelapan. Lalu dia bisa---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun