Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lampu Rumah Tua

10 Juni 2021   21:10 Diperbarui: 10 Juni 2021   21:14 734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Yang pertama kali melihatnya adalah Maya Sumangando dari Jl. Kawi No. 34.

Sisa muntah segar masih melekat di giginya dan tenggorokannya sakit karena sengatan asam lambung saat dia mengintip ke luar pada pemandangan aneh di atas bukit: lampu kuning yang menyala dan mati, menyala dan mati.

Jelas bukan karena arus listrik yang jelek, karena polanya terang dan gelap yang stabil seolah-olah ada seseorang yang sedang bermain-main dengan sakelar.

Aneh, pikir Maya, karena dia tahu rumah tua tanpa penghuni itu terkunci rapat. Dan setelah tetangga mengeluh bahwa bangunan reyot merusak pemandangan, dinas pekerjaan umum akan merobohkannya besok pagi dan meratakan bukit untuk dibangun taman bermain bagi anak-anak atau semacamnya.

Maya berdiri diam tak bersuara. Sinar yang tidak menyenangkan secara berkala menyapu wajahnya dengan warna pucat, membuat perutnya mual. Pupil matanya menyusut dan membesar dalam mantra hipnosis.

Di belakangnya, pembawa acara infotainment di televisi mengoceh omong kosong selebriti dan sesekali meledak gelak tawa. Dinding ruangan bermandikan kilatan cahaya kaleidoskopik biru putih. Ibunya tergeletak di atas sofa seperti ikan paus yang terdampar di pantai, berdeguk dalam tidurnya seolah-olah sedang menyelam sambil minum air. Lengannya menjuntai di tepi tempat dia memegang remote dengan tangan yang bengkak, dan ketika benda itu terlepas jatuh ke lantai, Maya tidak mendengar apa-apa.

Seakan ada yang menariknya ke arah cahaya, ditarik tanpa mengetahui alasannya, dan tiba-tiba Maya sudah berada di luar dalam udara malam yang lembap. Tanpa berpikir dia melintasi aspal yang dingin dan basah dengan kaki telanjang, sama cerobohnya seperti saat pertama kali dia menusukkan telunjuk ke tenggorokannya untuk mengeluarkan semua kotoran yang dia asosiasikan dengan pencernaan.

Sepuluh menit sebelumnya, dia telah tenggelam dalam ritual makan-muntah-tidur, bulimia yang membawanya dalam gangguan mental yang membahayakan jiwa mencekik setelah secara tidak sengaja melihat ibunya telanjang dengan segala kelebihannya: dugong tanpa leher dengan gelambir lemak yang berlipat-lipat tak terhingga. Maya tidak akan pernah membiarkan dirinya menjadi seperti ibunya, hanya saja dia kesulitan menekan rasa laparnya.

Ketika monster itu tertidur, Maya duduk di lantai dapur dan memenuhi tubuhnya dengan semua karbohidrat, lemak, garam, yang beracun di siang hari. Lalu pada malamnya segera disemburkannya semua dengan semburan air panas dan tidur sebelum rasa kenyang lenyap.

Malam ini tidak akan berbeda seandainya dia tidak melihat denyut kilatan kuning ketika dia hendak mematikan TV. Mulutnya terasa asam dan nafas nyaterengah-engah. Mencengkeram rumput dan semak belukar kering, bergegas mendaki bukit, menguji batas kemampuan ototnya yang berhenti berkembang dan tulang-tulangnya yang rapuh.

Dia mendaki bukit dengan tenaga terakhir yang sekarat dan sangat terkejut melihat pintu depan rumah terbuka. Papannya pecah, paku berkarat dan bengkok berserakan di ambang pintu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun