Dhika berjalan menuju lift setelah menarik napas dalam-dalam.
Roda gigi baja berderit di sekelilingnya. Tidak ada pelarian, tidak ada kendali. Ilusi bahwa manusia memupnyai kendali atas ciptaannya, tetapi, begitu tombol ditekan, keputusannya final.
Dia dikejutkan oleh seorang gadis muda dengan rambut panjang dikuncir. Raut wajahnya menunjukkan tekad membaja.
Keheningan di antara mereka mencekam, lekat, lembab.
Lift berderak menggerutu dan mendaki ke atas. Dwika melihat bayangannya yang kabur di pintu lift. Gadis itu terlihat akrab sampai dia tahu kenapa.
Nena, pikirnya.
Dia tetap sama, maju atau mundur dalam waktu. Untuk sekejap, mereka bertemu pandang dan nyala api kenangan membara.
***
Dhika sedang duduk bersamanya di sebuah kafe di pantai. Pohon pinus melambai dan hujan turun ragu-ragu. Langit kelabu datar. Nena mengamati tarian curah hujan yang mengucur dari atap, menyeruput segelas jus jeruk.
Jarinya yang halus lembut memetik kentang goreng berminyak melintasi bayang-bayang di jendela. "Aku merindukan ibuku di hari-hari seperti ini."
Potongan puzzle yang tidak sesuai dengan nada kekanak-kanakan yang meliuk riang.