Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sang Pemenang

10 Mei 2021   11:32 Diperbarui: 10 Mei 2021   12:37 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pinterest.com/GinoFeruciBraga

Wak Tisna menelepon. Aku tidak tahu harus berkata apa, mengapa aku tidak menjenguknya selama hampir sebulan meskipun aku tak benar-benar sibuk.

Dia punya banyak waktu saat dia duduk di taman rumah sakit mengamati lukisan dan patung khayalnya sepanjang hari, menunggu urat-urat saraf di kepalanya kembali berfungsi. Kukatakan padanya aku akan pergi menemuinya segera. Tentu saja setelah aku berbohong bahwa aku bekerja seperti orang gila.

Dia berkata makanan rumah sakit menyebalkan dan minta dibawakan chicken katsu dari Hokben.

Manusia di abad ke-21 yang waras mempunyai twitter atau facebook atau instagram dan menonton youtube, dan aku menjadi pengantar koran untuk mencari nafkah. Karena harus pergi ke Jalan Asia Afrika setiap pagi pada pukul lima tiga puluh, maka aku menyetel alarm ponsel ke "Only Time" Enya, satu-satunya lagu yang mampu membangunkanku tanpa membuatku marah dan sakit kepala.

Bandung adalah jenis kota yang ketika kamu sedang sedih, maka kamu juga merasa seperti bajingan. Seolah-olah kamu punya hutang pada kota untuk berbahagia. Seperti ada yang salah dengan otakmu sehingga tidak bisa puas di antara gedung-gedung peninggalan Belanda dan matahari terbenam di balik gunung dengan latar depan Jembatan Pasupati? Tahukah kamu bahwa mustahil mengambil foto yang jelek di Bandung? 

Aku berani bertaruh, meskipun kamu menggunakan kamera ponsel blackberry jadul, potretlah sudut kota terserah di mana saja dan lihat ke mana dia membawamu. Surga terpampang di layar, meresap seperti sejarah era des indes versi sepia. Jadi, jangan coba-coba mencari keburukan kota ini.

Sebenar aku merasa sangat merana belakangan ini, bahkan sebelum Wak Tisna berpisah dengan kekasih gelapnya-yang jelas bukan bibiku-dan kemudian kepalanya terkena asbak yang dilayangkan Junot, sepupuku, anak Wak Tisna satu-satunya.

Aku bahkan tidak bisa memberi tahumu apa yang membuatku merana. Aku menderita di Cikole, aku mengeluh di Pasir Putih, aku sengsara di Dago Pakar.

Bahkan, teman-teman meninggalkanku di Puncak minggu lalu dan harus naik bus melati sepanjang perjalanan kembali ke kota dan memaki siapa pun yang cukup bodoh untuk mengajakku bicara.

Jangan salah paham. Bandung adalah kota yang hebat jika kamu tahu ke mana harus pergi. Penuh dengan petualangan dan mojang-mojang cantik yang someah. Aku pernah mabuk di sebuah pub di Braga dengan seorang sekretaris eksekutif perusahaan multinasional, tapi hanya sekali itu saja.

Aku benci orang-orang yang mengeluh dan mengeluh bahwa Bandung sangat membosankan dan macetnya keterlaluan, lalu mereka menghabiskan liburan di Kebun Raya Bogor. Maka aku akan bicara dengan mereka tentang Dubai, atau Johannesburg, atau New York, atau Rio de Janeiro dan mereka menatapku dengan mulut ternganga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun