Minggu pagi, Bandung Utara.
Seorang perempuan muda, tampangnya sangat serius, berbelok ke jalan pendek. Kiri kanan gedung-gedung perkantoran. Di sudut terjauh, peninggalan buruk tata kota yang salah arah menodai jalan yang menikung, melengkung bagai pinggang gitar spanyol tembus menuju Jembatan Pasupati. Tempat kerjanya.
Di antara kantor-kantor, sebuah bangunan rendah terletak di lahan sempit, gerbangnya yang tinggi ditempeli poster.
'Rumah Kreasi Seni', demikian yang dinyatakan dalam selebaran. Klub yang riuh dengan kawanan penjelajah tempat hiburan malam. Badan lelah wajah semringah. Berpindah lokasi, meneriakkan lokasi pesta setelahnya.
Para clubber adalah manusia-manusia sezamannya. Namun dia punya lebih banyak hal penting yang harus dituntaskan. Bekerja meski akhir pekan, menabung untuk masa depan.
Dulu anak yang bijaksana, kini menjadi dewasa yang lebih bijaksana. Bergegas menuju kantornya, musik dan angin sepoi-sepoi membuat telinganya bergetar kedinginan.
Denyut irama menghantam dinding toilet. Dari jendela kantor dia melihat seorang gadis ceking kurus, rambut hitam pekat, sedang merapikan sepatu bot. Tulang pipinya membeku di bawah sinar matahari yang pecah menerobos sela-sela daun pohon kiara payung. Dia mirip denganku, pikirnya. Selain sayap kupu-kupu, riasan tebal, sepatu yang tak berguna untuk berolah raga, dan bulu mata palsu.
Minggu depan tidak banyak pekerjaan, tapi dia tetap datang ke kantor. Dia membungkuk untuk mengambil brosur saat melewati klub. Kuda sembrani bertanduk merah jambu dan putri duyung bersisik biru, irama yang teredam menggetarkan tulang rusuk.
Dia menarik ritsleting kardigannya lebih erat, dinginnya angin yang berembus mencemooh etika berbusana. Bersenandung saat bekerja tanpa memedulikan pandangan rekan kerja.
Tiket masuk senilai tujuh jam lembur! Hatinya bertanya-tanya bagaimana rasanya berdansa sepanjang malam hingga fajar dingin dan pucat menjelang.
Kakinya bergoyang. Bertanya-tanya.
Dia bekerja pada hari Sabtu berikutnya sampai larut malam. Resepsionis di lobi gedung yang terkantuk-kantuk menatap pintu lift yang terbuka.
Gadis itu muncul sambil bergoyang seperti batang bambu muda dengan sepatu bot yang menggelikan. Mantel vinil transparan menutupi kulit yang kedinginan dan bra merah akan membuat orang tuanya di kampung bangkit dari kubur-dan menguras rekening tabungannya.
Terhuyung-huyung menuju klub di sebelah, menambah kecepatan saat angin menyapu jalan. Kepompong menjelma kupu-kupu, kelopak mata yang berkilauan berubah menjadi rapsodi menuju cakrawala elektrik, bergetar bersama detak jantung saat dirinya dengan anggun mengepakkan sayap.Â
Terbang.
Bandung, 9 Mei 2021