Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kota B

8 Mei 2021   20:20 Diperbarui: 8 Mei 2021   20:28 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sinar matahari sore mengusap wajah Liana mengingatkannya akan pantai pembatas laut. Meski saat itu pertengahan September, hujan belum memenuhi janjinya mengawali musim. Di tempat parkir Ellen menunggu di samping VW kodok Liana, wajahnya tertunduk.

"Mengapa mbak membenciku?" Kata Ellen. "Aku hanya ingin sepertimu."

Dengkul Liana gemetar, seakan-akan sendi yang menahannya berdiri tegak terbuat dari karet. Seragam kaus berbahan poliester yang menempel di kulitnya bau asap dan keringat, penuh noda di sekeliling apron yang masih tergantung di lehernya.

Dia lelah. Keringat membasahi wajahnya. Kota B adalah kampung halaman gadis itu. Dia pasti ingin keluar, sama seperti yang diinginkan Liana dulu. Tidak pernah terpikir oleh Liana bahwa melihat dirinya yang masih muda di Ellen merupakan cermin dua arah. Kehidupan Ellen pasti seperti dirinya dulu yang membuat Liana tampak layak menjadi panutan.

Kesadaran yang datang mendadak membuatnya mampu mengampuni diri sendiri, membebaskan Liana dari beban yang menghimpit. Batu Sisipus yang tak kasat mata, dendam pada diri yang dipegang dengan teguh.

Dia tidak punya musuh, tidak ada yang merendahkannya. Bukannya berarti dia tidak pernah merasakan pengkhianatan yang menyakitkan, berkali-kali malah. Dibohongi, dimanfaatkan, ditinggalkan, dibiarkan begitu saja dalam kehilangan yang membuatnya mati rasa. Tapi dia juga telah melakukan bagiannya untuk menyakiti orang. Semuanya sukses pada ujungnya. Keseimbangan hidup dicapai dengan pendulum berayun mengambil sudut terjauh.

Dia tidak pernah berkeinginan untuk menjadi manusia normal. Tidak memiliki kesabaran seperti orang-orang lain.

Bagai terangnya sinar matahari setelah badai dahsyat berlalu, Liana menyadari bahwa selama ini, alih-alih belajar dari kegagalan demi kegagalan, malah dia memilih untuk mengulang kesalahan yang sama lagi dan lagi. Seragam pramusaji, ranjang untuk satu orang, laki-laki brengsek. Traveling bag murahan dan kota baru yang lain. Dia ingin memperingatkan gadis itu dengan nasihat yang belum pernah diterimanya: jangan biarkan siapa pun menghanncurkanmu, jangan minum kopi saat perutmu kosong, jangan menangis sendirian. Tapi Liana tahu kata-kata itu akan masuk kuping kiri dan mental sebelum menembus otak Ellen, seperti yang pasti akan dilakukannya jika ada yang berani memberi dia petuah yang serupa.

Hanya dua hal yang membantu dalam hidup. Cinta yang disimpannya hanya untuk lelaki bodoh sembrono berikutnya, bukan air mata gadis yang bercucuran air mata di bawah terik matahari sore.

Dia menyodorkan uang tip yang didapatnya hari itu.

"Kamu salah," kata Liana. "Aku tidak membencimu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun