Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kota B

8 Mei 2021   20:20 Diperbarui: 8 Mei 2021   20:28 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Liana diajarkan untuk menyimpan dendam abadi, tetapi lama berselang dia sadar butuh lebih banyak energi daripada yang dia peduli. Dia teringat ketika tiba-tiba mengerti bahwa pengampunan tidak ada hubungannya dengan musuh, tetapi lebih untuk ketentraman jiwanya sendiri. Pandangannya tentang dunia berubah, seperti baru menemukan rumah dengan sebuah ruangan penuh cahaya, sebuah ruangan yang ingin dia tempati selamanya.

Sebelas bulan yang lalu, Liana pindah ke Kota B dan mendapatkan pekerjaan di kafe yang menyediakan sarapan pagi, menjadi orang yang paling dia takuti---perempuan berseragam tak bernama yang menyajikan nasi uduk kepada para lelaki pekerja, pramusaji tertua di tempat itu, sendirian dan tidak ingin melakukannya. Tinggal di bedeng di pemukiman padat, tidur sendirian dalam linangan air mata. Umurnya belum empat puluh. Dia seharusnya menjalani hidup yang lebih baik, pikiran yang membuat perasaan merana melilit menggerogoti hari-hari dan malam-malam yang sunyi.

Ellen, gadis delapan belas tahun, bergabung dengan para pramusaji kafe. Liana cemburu dengan kemudaan dan vitalitasnya, optimisme yang ceria, pinggul rampingnya meliuk-liuk di sela-sela meja.

Ellen adalah Liana dua puluh tahun yang lalu, di kota lain, tanpa kemajuan. Lebih buruk lagi, Ellen selalu mencari perhatian Liana, menjilat, mengikuti di belakangnya seperti anak anjing yang diusir dengan sepakan tetapi masih kurang keras.

Selama jeda setelah jam sarapan sampai sebelum makan siang, pekerjaan sampingan mereka termasuk mengawinkan botol kecap dan saus sambal yang setengah kosong, mengisi ulang tempat garam dan merica, melengkapi wadah gula.

Ellen berceloteh tentang hal remeh-temeh, narasinya menyangkut tentang apa saja yang ada di hadapannya, mengomentari yang sudah jelas. Jika beropini dia mengajukan pendapat yang aman. Dia mudah tertawa. Bos menyukainya dan para juru masak menyembunyikan kesalahannya.

Dalam konteks berbeda, Liana mungkin akan menganggapnya menggemaskan, tetapi melihat Ellen mengingatkan Liana akan semua yang telah hilang dari dirinya: semua yang pernah dicintainya, pemandangan yang akrab, ambisi dan keinginan memiliki, tetapi terutama semua kepolosan menatap masa depan penuh harapan.

Selama dua minggu, gadis itu menguji kesabaran Liana. Dan, seperti yang sudah seharusnya, rasa muaknya tak tertahankan lagi.

Dengan suara tertekan, Liana berkata, "Menjauhlah dariku! Aku rekan kerja, bukan temanmu."

Wajah Ellen memerah seolah baru saja ditampar dengan kekuatan penuh. Matanya, yang dulunya penuh harapan seperti sinar mentari di bulan Juli, kini digenangi air mata. Ellen bergegas ke dapur dan Liana mengabaikannya selama sisa giliran kerja, bersyukur atas efisiensi yang lebih baik karena bekerja sendiri.

Ellen menghitung tip yang didapatnya di meja kasir yang berlapis formika, menukar dengan uang kertas yang bisa dilipat, dan pergi meninggalkan kafe.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun