Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Wanita Tua dan Burung Merpati di Taman Alun-Alun Kota

24 Maret 2021   18:21 Diperbarui: 24 Maret 2021   18:47 623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wanita Tua dan Burung Merpati / bestlifeonline.com

Diam-diam aku mengamatinya. Semua orang mengenalnya, bahkan orang-orang yang tinggal di luar kota telah mendengar tentang wanita tua itu.

Hampir setiap hari dia berkeliaran di sekitar pusat kota. Sulit untuk menebak usianya, mungkin antara 60 - 75 tahun. Bahkan sekarang aku merasa malu karena menulis sesuatu yang tak kuketahui sebenarnya. Kupikir, memangnya aku siapa?

Dia sama sekali tidak mempedulikan lautan kerumunan manusiadi sekelilingnya. Anak-anak sekolah yang menggodanya sudah lama menyerah. Dia tak mengacuhkan mereka. Dia hanya hidup untuk merpati.

Terbungkus gaun berlapis jaket denim yang kusam, ia akan terhuyung-huyung di sekitar sudut alun-alun, perlahan-lahan menyebarkan makanan burung yang disimpannya di dalam kantongnya. Setiap malam dia menghabiskan dua atau tiga jam dari waktunya untuk memberi makan burung-burung yang dengan patuh berkeliaran di dekat kakinya.

Kapanpun Anda bertemu dengannya, selalu ada pentas teatrikal untuk pertunjukan malamnya.

Beberapa kali aku mencoba menarik perhatiannya. Matanya yang cokelat hitam hanya melihat melalui kepalaku. Dia melihat, tapi tidak ada kontak mata. Ada bau apak dan tidak sedap di dirinya yang membuat terlalu tidak nyaman untuk berlama-lama di dekatnya. Rambutnya yang kotor seperti karpet abu-abu buram; Selalu ada tetesan embun yang bertengger di ujung hidungnya, dan topi rajutan merah disematkan di kepalanya.

Mengamatinya jangan dari jarak dekat. Lebih baik berlama-lama di kejauhan saat dia mengelilingi alun-alun, melantunkan gumamannya yang tak jelas kepada burung-burung itu. Selama dua puluh tahun terakhir hidupnya, sepertinya dia tidak punya apa-apa kecuali burung merpati. Orang-orang bagai tak ada.

Dia benar-benar membuatku penasaran, maka aku memeriksa latar belakangnya. Dia dilahirkan di masa darurat, di suatu tempat di punggung bukit barisan, di mana dia jatuh cinta dengan seorang tentara. Nalurinya mendorongnya meninggalkan tanah kelahirannya untuk tinggal bersama kekasihnya. Namanya Nurani, dan kekasihnya yang sudah menikah tak mengenalnya, meninggalkan luka yang meremukkan hatinya selamanya.

Dia tidak punya teman, dan tidak menginginkannya juga. Namun secara ajaib aku tertarik padanya. Saat aku duduk dan meminum segelas kopi hangat dari penjual kopi keliling, hatiku berdarah karena merasakan keputusasaan memancar dari dirinya. Seharusnya aku berusaha lebih keras.

Pekan lalu, ketika aku menyadari bahwa belum melihat lagi, aku mencari informasi dan merasa hancur saat mengetahui bahwa dia telah meninggal, di sebuah lorong sepi, hanya beberapa hari sebelumnya. Bukan akibat kriminal, hanya sebuah kekalahan.

Ketika polisi menggeledah tempat tinggalnya, mereka menemukan lima kilo makanan burung. Dan dua belas botol racun tikus.

Seperti umumnya yang kulakukan dalam hidupku, aku selalu terlambat.  Terlambat mengerti.

Dia pasti membenci merpati.

Sangat benci.

 

Cakung, 24 Maret 2021
Sumber ilustrasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun