"Kamu penulis bayangan itu?" tanya wanita itu.
"Ya, Nyonya. Saya di sini karena iklan Anda."
"Aku sudah verifikasi dan validikasi apa yang tercantum di CV-mu, kredensial kamu bagus. Aku tak menyangka kalau otobiografi koruptor buron dan  konglomerat hitam itu kamu yang tulis. Masuklah."
Dia menggiringku ke ruang tamu. Aku berdiri terpaku menatap bingkai pintu di dinding yang memancarkan pendar cahaya biru dari rongga-rongga sisi. Susunan aksara yang belum penah kulihat terpahat di sana.
"Portal ke dunia lain, dimensi sejajar. Aku ingin kamu membantuku menulisnya dengan cara yang logis bagi pembaca."
Sesuatu membuatku maju, menarik gagang pintu.
Dia berteriak, "Tidak, jangan! Jangan dibuka!"
Terlambat. Cahaya biru yang menyilaukan - bayangan nun jauh di sana. Sesuatu yang tak mampu ditangkap oleh mata manusia.
* * *
Ketika siuman, aku diberitahu bahwa aku koma dua minggu lamanya. Mataku buta sampai sekarang.Â
Wanita itu berbisik di telingaku. "Maafkan aku. Kamu seharusnya tidak melihatnya. Kamu tidak boleh menatapnya secara langsung."
Dia menarik tanganku, memegangnya sangat lama.
"Biaya rumah sakit menjadi tanggunganku, dan kamu akan menerima tunjangan bulanan seumur hidup. Hanya itu yang bisa aku lakukan. Aku harus pergi sekarang. Aku masih harus mencari orang yang bisa membantuku menjelaskannya kepada dunia. Sekali lagi, aku sangat, sangat menyesal."
Tujuh tahun berlalu, dan aku tak pernah mendengar kabar darinya lagi. Rumah itu kini kosong. Tak ada  yang menempati, bahkan tikus dan kecoak pun menghindar. Benar-benar kosong. Aku sudah memeriksanya sendiri.
Aku mendengar kabar tentang tiga orang penulis lain yang bernasib sepertiku: buta permanen setelah jatuh koma. Ternyata dia tidak pernah menemukan seorangpun yang mampu menjelaskan apa yang ada di sisi lain portal.
Aku rasa takkan ada yang bisa menuliskannya.
Bandung, 23 Juni 2020