Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku dan Novelis Leo Pasar

9 Juni 2019   00:25 Diperbarui: 9 Juni 2019   13:39 2115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku berteman dengan novelis Leo Pasar di Yogyakarta pada tahun 1990. Saat itu usiaku 19, Leo dua tahun lebih tua.

Kami berdua kelayapan di Malioboro dengan sepeda motor bututnya. Kami merasa menjadi seniman dengan berteman dengan para mahasiswa di ISI. Kami juga mengaku sebagai sastrawan karena kenal dengan sejumlah penyair dan penulis. Kami juga sering ikut membantu pameran di galeri yang bertebaran di seantero Yogya atau resital tari dan musik sebagai tugas akhir para gadis-gadis mahasiswi di sana.

Kadang untuk sekadar penyambung hidup, saat tidak ada job, aku dan Leo menjual darah di rumah sakit. Atau jadi figuran numpang lewat di film yang kebetulan syuting di kota itu.

Pokoknya, sebisa mungkin menjadi kreatif dalam mencari nafkah.

Aku ingat saat pertama kali berjumpa Leo.

Saat itu aku menemani gadis-gadis dari jurusan Sastra Perancis ke pesta yang diadakan AFY. Karena kesukaanku kepada komik Belgia dan Alain Delon maka aku bisa berbicara sedikit bahasa Perancis. Gadis-gadis itu menjagaku seakan aku anak singa yang harus dilindungi, membuatku sulit untuk jatuh cinta dengan salah satu dari mereka.

Aku berharap di mata orang lain aku adalah alpha male di kawanan babun, tetapi sebenarnya mereka hanya butuh seorang cowok yang bisa disuruh-suruh.

Mereka tahu semua peristiwa seni yang sedang berlangsung dan suatu malam kami pergi ke pembacaan puisi di konsulat Perancis di jalan Sagan. Aku biasa menonton film tanpa sensor dan membaca komik-komik dewasa di situ.

Bisa dikatakan, acara itu adalah pertemuan para penyair 'revolusioner' dan Leo ada di sana dengan pipa cangklong dan kumis berantakan seperti sikat WC, dengan aksen yang semula kukira Bali tapi ternyata Aceh. Aku rasa dia menganggap dirinya Dada dalam puisi.

Setengah dari kata-katanya tak bisa kumengerti, tapi kumis dan matanya yang kelabu tua mampu melakukannya: orang ini memiliki seni sejati. Karisma yang membara sama seperti yang kini kamu lihat di sampul buku-bukunya yang berdebu.

Aku katakan kepadanya betapa aku menyukai puisinya, membelikannya croissant, sepotong keju camembert dan sebotol bir, dan kami berteman sejak saat itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun