Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tujuh Detik Terakhir

20 Mei 2019   11:53 Diperbarui: 20 Mei 2019   12:16 1013
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tujuh. 

Dia hanya punya beberapa detik tersisa. Terlepas dari penggemblengan dan pelatihan yang pernah diterimanya, hasil evolusi berabad-abad yang tak terhitung banyaknya dalam seni berperang, teknologi tidak benar-benar berhasil menghapus kematian. Peluru diciptakan semakin cerdas untuk dengan mudah menembus lapisan seragam yang terbuat super kevlar, kulit, daging, dan tulang. Dan sekarang dia sekarat. Darah mengucur dari luka yang gagal menutup sendiri karena cairan medis dipenetrasi oleh racun kimia dalam udara. 

Enam. 

Mungkin jika ada rumah sakit yang dekat, dia punya peluang. Tapi ini medan pertempuran, dan jeritan yang prajurit terluka dan sekarat terdengar di mana-mana . Tidak ada harapan kali ini, akan begitu banyak prajurit mati di medan perang tak berujung dan terlupakan. Tidak ada keluarga atau sanak saudara kepada siapa berita kematiannya akan disampaikan, tiada kekasih jauh di seberang yang mengisi relung hatinya, tak ada teman yang mungkin berdoa untuk jiwanya. 

Lima. 

Namun dia tak sendiri. Menyatu dengan perisainya, seragamnya dan implan di dalam kepalanya, ada entitas lain yang masih menyala, bahkan saat dia perlahan memudar. Bukan wanita dalam bentuk daging dan tulang, tetapi satu-satunya teman yang dikenalnya selama berbulan-bulan yang panjang dalam pertempuran yang kejam. Kecerdasan buatan yang mengakses seluruh fungsi tubuhnya, dan telah memastikan tanpa ada keraguan lagi bahwa takdirnya akan segera berakhir segera.

Empat.

Kilas kenangan cadangan berkelebat bergetar saat sel-sel neuron yang tak terhitung jumlahnya yang membentuk otaknya mulai mati, aliran pikiran yang bergejolak dan peristiwa-peristiwa yang diingatnya bagaikan film acak yang dipercepat ribuan kali. Warna dan suara meski samar namun fokus, adegan yang jauh di masa lalu dan pernah terlupakan kini muncul ke permukaan.

Tiga.

Dia dan gadis itu hanya teman biasa. Gadis itu tersipu ketika menciumnya dengan malu-malu, canggung saat bibir mereka saling menempel. Pipinya memerah saat matanya yang cemerlang menatap balik padanya. Dunia tampak merangkak dalam gerak lambat ketika dia mengucapkan kata-kata itu untuk pertama kalinya, kenangan yang baru tercipta di benaknya.

Dua.

Mereka adalah sepasang kekasih. Kehangatan tubuhnya, sentuhan kulitnya yang halus menenangkannya saat mereka berbaring di tempat tidur. Dia menggigit jarinya dan berbisik mendesak, meminta, memohon. Lagi. Napasnya tersendat dan wajahnya bersinar dengan sukacita yang tak terbayangkan saat dia mengatakan ya.

Satu.

Mereka adalah keluarga. Dia duduk di sampingnya ketika mereka menyaksikan anak-anak mereka bermain di halaman. Matahari menyinari wajah mereka saat suara tawa dan sukacita lembut bergelompang melalui udara bersih tak berpolusi. Dia bersandar dan mendesah gembira, menghirup aroma bunga musim panas. Dia memeluknya erat dan menciumnya lagi saat dia memejamkan mata. Semua rasa sakit dan kekhawatirannya terlupakan dalam momen keabadian yang sempurna ---

Nol.

TAMAT

Sumber Ilustrasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun