Mohon tunggu...
Yayan Sopian
Yayan Sopian Mohon Tunggu... Guru - Guru yang belum bisa digugu dan ditiru

..

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Ketika Bersua dengan Burung Surga di Amerika

7 Maret 2017   19:47 Diperbarui: 1 April 2017   12:00 1202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“ When seen in this attitude, the Birds of Paradise really deserves its name and must be ranked as one of the most beautiful and wonderful of living things

Alfred Russel Wallace, 1869

Genap hampir 2 bulan lalu penulis mengunjungi kota ini, tepatnya tanggal 24 - 26 Desember 2016. Bukan sebuah kebetulan ataupun tak direncanakan untuk mengunjungi kota tersebut. Bermodalkan hasil “pengetatan ikat pinggang” sebagai anak kos di negeri orang, akhirnya kota ini dapat dituju. Untuk menempuh kota Dallas dari tempat studi, terhitung 2 kali penerbangan dan 1 kali perjalanan kereta.  Dengan rute penerbangan Huntington (West Virginia) – Charlotte (North Carolina) – Dallas (Texas) kurang lebih 3,5 jam ,  plus30 menit perjalanan darat dengan armada terintegrasi bernama DART (Dallas Area Rapid Transit), dari bandara Dallas Forth Worth ke pusat kota Dallas.

West End Station, Dallas (dokumentasi pribadi)
West End Station, Dallas (dokumentasi pribadi)
Mengunjungi Perot Museum Science and Nature adalah misi utama penulis ke kota ini. Selama tanggal 08 oktober 2016 hingga 08 januari 2017, museum ini menggelar salah satu eksibisi utamanya berjudul “ Birds of Paradise (BoP) ”. Dengan membaca judulnya, ingatan pembaca yang budiman tentunya akan tertuju pada salah satu satwa endemik yang berada di pulau New Guinea (termasuk provinsi Papua dan Papua Barat) dan pulau-pulau satelitnya, serta bagian utara Australia timur, Pameran burung cenderawasih inilah yang menarik minat penulis untuk datang ke kota Dallas. Perjumpaan dengan burung ini pernah sekali dialami oleh penulis, meski tidak di alam bebas, melainkan di sebuah Taman Burung dan Taman Anggrek di Kota Biak (hampir satu dasawarsa lalu).

Gedung Perot Museum of Nature & Science, Dallas, Texas (dokumentasi pribadi)
Gedung Perot Museum of Nature & Science, Dallas, Texas (dokumentasi pribadi)
Pembukaan pameran yang diselenggarakan Perot Museum of Nature and Science di kota Dallas, turut dihadiri pula oleh pihak Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Houston, Texas, dan dimeriahkan oleh tarian tradisional dari Papua, yang menampilkan tarian bertema burung cenderawasih.

Pihak KJRI di Houston bersama para penari (sumber : www.kemlu.go.id)
Pihak KJRI di Houston bersama para penari (sumber : www.kemlu.go.id)
Pameran burung cenderawasih sebenarnya telah berlangsung sejak tahun 2012, bersamaan dengan peluncuran bukuk hasil penelitian Tim Laman dan Edwin Scholes di National Geographic Museum, di kota Washington, DC. Selanjutnya, pameran dilaksanakan melalui tur keliling museum-museum yang berada di kota-kota besar di Amerika Serikat. Dengan demikian sampai saat ini, pameran BoP di Amerika Serikat sudah memasuki tahun ke-4.

Tim Laman dan Edwin Scholes

Adalah hasil penelitian yang menghabiskan waktu selama kurang lebih satu windu (8 tahun – red) 2 orang peneliti bernama Tim Laman dan Edwin Scholes. Tim Laman merupakan seorang fotografer senior untuk kehidupan satwa liar dan alam bebas, sekaligus associate researcher pada Universitas Harvard. Karyanya kerap kali terpilih sebagai sampul depan serta fitur produk National Geographic.Baginya, fotografi adalah sarana untuk menjembatani isu-isu konservasi satwa liar. Laman sangat akrab dengan kondisi hutan tropis di Indonesia sejak tahun 1987, sang istri Cheryl Knott, pun setali tiga uang dengan profesi Laman, yang tidak lain adalah seorang primatologis (ahli  primata) sekaligus professor di Universitas Boston.Sedangkan Edwin Scholes adalah seorang ornithologist (pakar ilmu tentang satwa burung) yang saat ini bekerja untuk laboratorium ornitologi, Universitas Cornell, New York. Sebagai co-founder Tim Laman pada Birds-of-Paradise Project, penelitian intenstif tentang burung cenderawasih ini menghantarkan Scholes meraih gelar doktor di bidang Ecology in Evolutionary Biology di Universitas Kansas pada tahun 2006.

Edwin Scholes dan Tim Laman (sumber : www.dailymail.co.uk)
Edwin Scholes dan Tim Laman (sumber : www.dailymail.co.uk)
Menariknya, penelitian Laman dan Scholes terinspirasi dari catatan perjalanan seorang naturalis ternama asal Inggris, bernama Alfred Russel Wallacea. Melalui bukunya berjudul “The Malay Archipelago”, Wallace menemukan spesies burung eksotis yang belum pernah dijumpai selama petualangannya menjelajah beberapa benua. Perjumpaan dengan penduduk local di sekitar kepulauan Aru, memotivasi Wallace untuk mempelajari burung cenderawasih tersebut hingga ke pulau New Guinea.

Buku (hagstromerlibrary.ki.se)
Buku (hagstromerlibrary.ki.se)
Tertantang untuk menemukan hal yang sama, Laman dan Scholes mengawali perjalanan dengan menapak tilasi jalur perjalanan Wallace 189 tahun yang lalu. Penelitian Tim dan Edwin menandai hampir 5 abad setelah ekspedisi terakhir kapal Magellan yang membawa rempah-rempah dari Maluku, termasuk membawa spesimen burung cenderawasih, yang diperkenalkan pertama kali ke bangsa Eropa.

Hasil penelitian 8 tahun Laman dan Scholes mencatat 39 spesies dari 15 marga suku Paradiseidae.  Dokumentasi berupa tulisan, audio video, dan gambar, menjadi capaian penting dan komperehensif akan satwa tersebut, baik jumlah spesies yang terdata maupun perilaku kawin (ritual courtship), yang selama ini belum terdokumentasikan secara maksimal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun