Mohon tunggu...
Rizky Purwantoro S
Rizky Purwantoro S Mohon Tunggu... Lainnya - pegawai biasa

Membaca, mengkhayal dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Eksistensi Komunitas LGBT dan Piala Dunia Qatar

28 November 2022   10:21 Diperbarui: 28 November 2022   10:29 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar dari jeda.id

Piala Dunia kali ini di Qatar ada yang cukup menarik, bukan karena pertandingan sepakbolanya saja, melainkan karena adanya isu LGBT, yang pada kancah piala dunia sebelumnya belumlah seramai ini.

Mungkin ramai, karena pihak penyelenggaranya dengan tegas dan terang-terangan menolak eksistensi simbol pelangi LGBT dipakai oleh setiap tim kesebelasan dan supporternya yang ikut dalam piala dunia kali ini.

Terlepas salah atau tidaknya keputusan pihak penyelenggara di Qatar, seharusnya negara lain yang ikut mengirimkan tim kesebelasannya menghormati keputusan tersebut. Karena semua negara pastinya memiliki hukum, tradisi dan kebudayaannya masing-masing yang tidak harus sama dengan negara lain.

Misalnya kita menghargai beberapa aturan yang sempat muncul terkait pelarangan jilbab di beberapa negara Eropa. Dengan begitu di sisi lain, negara-negara Eropa juga sebaiknya tidak memaksakan nilai dan norma yang diyakininya kepada negara lain, termasuk Qatar sebagai negara tuan rumah penyelenggara Piala Dunia.

Jangan-jangan sebagian bangsa Eropa itu masih mempunyai perasaan jumawa, bahwa mereka lebih baik daripada negara non-Eropa, seperti yang pernah mereka tunjukkan pada masa mereka masih menjadi penjajah di abad 19 dahulu. Pada masa itu ada pola pikir dari mayoritas orang-orang Eropa bahwa bangsa-bangsa non-Eropa itu belum beradab, makanya perlu diperadabkan dan diajarkan mengenai nilai-nilai modernisasi yang dianut oleh masyarakat Eropa Barat, sehingga menjadi legitimasi mereka untuk menjajah dan mengeksploitasi.

Bisa saja hampir pada setiap negara di dunia ini memiliki komunitas LGBTnya sendiri, termasuk di Indonesia. Namun bedanya jika di Jerman dan Inggris itu, komunitas LGBTnya dapat mempengaruhi keputusan politik pemerintah negaranya, maka di negara lain, seperti di Indonesia, jumlah mereka mungkin lebih sedikit dan tidak terlalu mempunyai kekuatan untuk menyuarakan aspirasinya.

Akhir-akhir ini masyarakat non-LGBT itu dikampanyekan untuk menghormati komunitas LGBT, di sisi lain komunitas ini seharusnya juga melakukan hal yang sama, yaitu menghormati masyarakat yang berlainan prinsip dengan mereka. Jangan sampai komunitas LGBT ini hanya ingin kebebasan mereka saja yang perlu dihargai, sedangkan prinsip dan pandangan masyarakat selain mereka, tidak diindahkan.

Pihak penyelenggara Qatar hanya melarang simbol LGBT, tidak sampai menangkapi mereka. Padahal kalau mau melihat balik pada masa sebelumnya, di Eropa dahulu, pada saat agama mereka masih kuat-kuatnya, tidak mungkin para penganut LGBT ini sampai berani menunjukkan eksistensinya ke tengah masyarakat, risikonya bisa dihukum mati oleh otoritas penguasa pada waktu itu.

Bukankah pada awal abad 20, sekitar tahun 1900 hingga berakhirnya Perang Dunia Kedua, isu LGBT itu masih cukup kurang disukai oleh mayoritas masyarakat di Eropa dan Amerika Utara. Puncaknya adalah pada saat rezim fasis berkuasa di beberapa negara Eropa, terutama di Jerman, yang banyak mengeluarkan kebijakannya yang anti komunitas LGBT.

Khusus Jerman, ironisnya dahulu, para penganut LGBT pernah dikejar-kejar pemerintah dan tentaranya untuk kemudian dijebloskan ke kamp.konsentrasi, tapi saat ini anak keturunan mereka justru menjadi salah pendukung LGBT terkuat di Eropa.

Sekularisme dan demokratisasi terhadap negara-negara Eropa itulah yang membuat para penganut LGBT ini mulai dapat bernafas lega, sama seperti kaum minoritas lainnya. Akan tetap saja hal tersebut tidak akan pernah mengubah nilai-nilai yang terkandung di dalam agama mereka, yang tetap saja menentang keberadaan LGBT tersebar di masyarakatnya.

Karena merasa sudah berada di atas angin, para penganut LGBT ini sepertinya memanfaatkan kesempatan itu untuk berusaha menyebarkan ide-idenya ke pihak selain mereka. Salah satunya ide bahwa bisa jadi ada gender ketiga, selain gender tradisional alami yang sudah ada sebelumnya.

Mereka juga menjadi komunitas yang cukup sakti, karena apabila ada yang orang lain yang bertindak atau mengeluarkan pernyataan di media yang menyudutkan mereka, maka mereka dengan mudahnya dapat menekan yang bersangkutan untuk segera meminta maaf atau kalau tidak maka karir hidupnya berisiko akan mandek kedepannya.

Sekarang dengan pengaruh mereka untuk menekan pemerintah pada beberapa negara Eropa, mereka berusaha menggoyahkan keputusan pihak penyelenggara piala dunia di Qatar. Apakah bisa? Tampaknya tidak akan bisa, meskipun keputusan itu dapat menjadi catatan tersendiri bagi semua pihak, salah satunya bisa jadi bagi para pihak yang akan menyelenggarakan piala dunia di masa yang akan datang itu akan ditekan untuk mengakomodir kepentingan komunitas LGBT.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun