Mohon tunggu...
Muhammad Arifin
Muhammad Arifin Mohon Tunggu... -

Karyawan swasta yang punya perhatian di bidang dakwah, pendidikan dan sosial

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

True Story: Menggapai "Bulan", Perjuangan Hidup Jejaka Desa

8 Februari 2017   16:51 Diperbarui: 8 Februari 2017   16:58 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Selepas lulus SMA, Joko tak lantas santai-santai menikmati status baru, yaitu pengangguran. Baginya “nganggur” adalah sebuah pantangan dan dia merasa malu jika menjadi pemuda nganggur di kampung sendiri. Selain malu, pastinya akan jadi omongan teman, saudara dan tetangga. Ujung-ujungnya orang tua yang kena imbasnya, begitu pikirnya. Sesegera mungkin harus cari kerja ini, tapi kerja apa? Cuma lulusan SMA, ijasah pastinya rendah nilai jualnya, Joko terus memutar otaknya. Paling-paling kerja jadi buruh tani atau buruh pabrik atau pegawai rendahan lainnya. Tapi... tak apalah, demi harga diri, dan semangat untuk mengurangi beban orang tua maka harus segera dapat kerjaan dimana pun itu adanya dan apapun profesinya. Joko semakin semangat, baginya kerja adalah tujuan utama untuk saat itu dan kuliah adalah cita-cita yang harus ditaruh dilaci lemari yang paling dalam, ini tak lain karena kemampuan ekonomi orang tuanya yang tidak memungkinkan. Joko yakin, kelak dia akan bisa me-recall cita-citanya itu kelak hari.

Kerjaan pertama kali yang dijalani Joko yang bisa menghasilkan uang dari keringatnya sendiri adalah tawaran jadi buruh “ngerek” (baca: panen padi), kebetulan saat itu sedang musim panen di kampungnya. Itu benar-benar sebuah kerjaan yang menguras tenaga dan ketahanan fisik, tapi alhamdulillah bisa dijalankan dengan baik. Satu kebanggaan yang tak terkira bisa mendapatkan uang dari keringat sendiri saat itu, meskipun tak seberapa dan Joko sangat bersyukur.

Seiring berjalannya waktu, datanglah kabar bahwa ada seorang tetangga desa yang kenal dengan salah satu penyalur tenaga kerja untuk dikirim ke Jakarta. Joko pun berminat untuk mendapatkan informasi yang valid, langsung saja dia mencoba untuk menemui informan itu. Setelah mendapat penjelasan yang tuntas dan yakin dengan informasi yang diberikan, apalagi salah satu anaknya juga sudah bekerja di Jakarta melalui penyalur ini. Joko pun langsung memutuskan untuk mencobanya. Karena minim pengalaman dan rasa khawatir dia pun mengajak seorang temannya di kampung yang juga sedang butuh kerja. Yaa setidaknya bisa jadi teman selama dalam proses mencari kerja, begitu pikirnya.

Singkat cerita setelah menaruh lamaran kepada seseorang yang menjadi penyalur itu, dia pun menunggu panggilan. Kira-kira 1 minggu berlalu, kabar baikpun datang. Yah, Joko dan temannya yang bernama Rahmat lolos seleksi administrasi, lalu mereka disuruh untuk menemui seorang penyalur langsung yang berhubungan dengan perusahaan-perusahaan di Jakarta. Joko dan Rahmat diberikan alamat yang akan dituju, yaitu Muntilan (sebuah kecamatan yang ada di sebelah utara Kota Jogja).

Mereka pun berangkat bersama dari Solo menuju Jogja menggunakan Bus lalu di sambung dengan minibus menuju Muntilan. Siang hari mereka tiba di sebuah rumah warisan Belanda, yah itu adalah rumah yang ada di alamat itu. Ternyata rumah itu adalah sebuah yayasan penyalur tenaga kerja, dan tak disangka pimpinannya adalah orang Belanda yang sudah jadi WNI. Masyarakat sekitar pasti mengenal bapak itu, mereka biasa memanggil “Bruder”. 

Ternyata kata bruder itu berasal dari bahasa Belanda yaitu broeder maknanya “saudara laki-laki”. Di dalam wikipedia, kata bruder adalah nama panggilan bagi seorang rohaniawan Katolik awam (tidak ditasbihkan) yang menjalani kaul kemiskinan, selibat dan ketaatan. Seorang bruder biasanya tinggal dalam suatu komunitas dan bekerja dalam pelayanan sebagai guru, seniman, koki, teknisi, sesuai dengan talenta dan bakatnya.

Hari itu juga Joko dan Rahmat langsung disambut bruder, dan dicek administrasi lamarannya. Setelah dicek bruder tiba-tiba langsung melakukan test fisik, yang tak terlintas sama sekali dipikiran Joko dan Rahmat sebelumnya. “Joko...!!” begitu panggil bruder, “kemari kamu..buka bajumu”. Bugghh ...! “erghhh....”, Joko kaget sambil menahan napasnya, bruder mendaratkan kepalan tangannya ke perut Joko.

 Jokopun kaget dan menahan sakit. “Bagus....!!”, bruder tersenyum kecil. Hal yang sama dilakukan terhadap Rahmat. Setelah sesi ini Joko dan Rahmat dipersilahkan untuk datang kembali esok hari untuk menjalani Psikotes dan Tes Fisik. Tak mungkin mereka menginap di rumah bruder, akhirnya mereka memutuskan untuk ke rumah kakak Rahmat yang berada di daerah Klaten. Daripada pulang ke Solo lebih baik kita ke rumah kakakku di Klaten begitu usul Rahmat. Oke baiklah, itu akan lebih baik bagi kita, begitu Joko meng-amini.

Setelah bermalam di Klaten, pagi-pagi mereka berangkat kembali ke Muntilan untuk meneruskan tes lanjutan. Mereka tiba beberapa menit sebelum tes dimulai. Sudah terkumpul kurang lebih 20-25 orang. Tes pertama adalah mengerjakan Psikotes, Joko dan Rahman melaluinya dengan baik, dan dinyatakan lulus dan bisa melanjutkan tes berikutnya yaitu tes fisik. Sebenarnya Joko dan Rahmat heran, “ini mau dipekerjakan jadi apa sih, kok tes nya aneh, pakai psikotes segala dan tes fisik juga ya”, mereka berdua saling tanya.

Siang itu selesai menyelesaikan psikotes bagi pelamar yang lolos, yaitu sekitar 20 orang disuruh lari maraton sepanjang 6 KM, dan finishnya adalah kolam renang. Joko nampak kuat dan bisa menyelesaikan finish di urutan kedua, tapi tidak bagi Rahmat, maklum Rahmat baru saja sembuh dari penyakit kronis yang dideritanya, sehingga kondisi tubuhnya belum sempurna sehat. Dengan lari sempoyongan Rahmat akhirnya bisa menyelesaikan lari maraton itu di nomer 2 urutan paling belakang.

Setelah semua peserta seleksi berkumpul di kolam renang, sang bruder pun sudah siap sedia untuk memberikan tantangan lainnya. Seluruh pelamar disuruh nyemplongke kolam renang yang sangat dingin itu, karena letaknya ada di dataran tinggi, suhunya kira-kira 20 C. Tak satupun pelamar yang mengundurkan diri, mereka menjalani ujian ini dengan semangat dan pantang kendor. Di dalam kolam renang peserta tak hanya di rendam layaknya cucian, tapi mereka disuruh berenang, dan berlomba beberapa permainan yang dipandu bruder yang sangat menguras tenaga. Dua jam berlalu, ujian fisik berakhir dan semua peserta diwajibkan kembali ke basecamp (yayasan), dimana start maraton dimulai. Dengan tertatih-tatih semua peserta tiba di yayasan termasuk Joko dan Rahmat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun