Mohon tunggu...
Muhammad Asif
Muhammad Asif Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer and reseacher

Dosen dan peneliti. Meminati studi-studi tentang sejarah, manuskrip, serta Islam di Indonesia secara luas.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mencoba Memahami Mengapa Sering Terjadi Aksi Terorisme di Solo Raya?

6 Juni 2019   09:21 Diperbarui: 6 Juni 2019   09:24 1172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Aksi peledakan bom yang terjadi di Kartosura, Sukoharjo, Senin (3/6/2019) kemaren membuat saya mencoba mengingat kenangan tentang Solo. Ya Kartasura, meskipun merupakan wilayah dari Kabupaten Sukoharjo, tapi ia berbatasan dengan Solo, bahkan banyak wilayahnya yang beririsan dengan Solo. Masyarakatnya pun suka mengidentifikasi sebagai "wong Solo". 

Selain karena secara budaya, Kartasura jelas merupakan bagian dari Solo, kabupaten Sukoharjo pun sebetulnya masih merupakan Solo Raya atau eks karisidenan Surakarta yang terdiri dari beberapa kabupaten, Solo, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Klaten, dan Boyolali. Saya sendiri cukup lama pernah tinggal di daerah Kartosura. 

Bahkan, dulu saat tinggal di sana saya sering maen di dekat sekitaran daerah tugu tempat terjadinya peledakan kemaren. Ketika malam-malam saya sering makan dan nongkrong di hiks di daerah sekitar tugu tersebut. 

Lalu kenapa di daerah "wong Solo" yang terkenal berbudaya, halus dan santun itu sering terjadi aksi-aksi terorisme? Hampir setiap tahun terjadi aksi suicide bombing atau bom bunuh diri. Saya akan mengurainya berdasarkan apa yang saya tahu, tentu saja ini merupakan pendapat pribadi. 

Tapi meskipun merupakan pendapat pribadi, tapi saya dasarkan pada pengalaman saya tinggal di sana lebih dari 8 tahun dan juga mungkin juga dari bacaan-bacaan riset tentang radikalisme di daerah tersebut yang pernah saya baca. 

Saya akan membaginya menjadi beberapa poin. Tentu saja ini adalah ringkasan kasar seringkas-ringkasnya, karena untuk memahami persoalan ini lebih detil tentu memerlukan ulasan yang panjang, menghadirkan data-data serta tentu saja perlu rujukan-rujukan yang relevan yang banyak.

  • Pasca Lengsernya Orde Baru Solo menjadi Pusat Berkembangnya Kelompok-Kelompok Islam Radikal

Sejak sekitar 1970an proses Islamisasi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok modernis-puritan di Solo mengalami peningkatan dan mencapai keberhasilan yang signifikan. 

Ketika kemudian pemerintah Orde Baru mulai menerapkan kebijakan-kebijakan yang dianggap menekan kelompok-kelompok Islam, kemudian muncul gerakan-gerakan protes terhadap pemerintahan Orde Baru yang dianggap otoriter yang digerakkan oleh beberapa tokoh dan kelompok Islam. 

Beberapa tokoh tersebut, di antaranya adalah Abdullah Sungkar dan Abdullah Ba'asyir yang kelak harus lari ke Malaysia dan kemudian ikut terlibat dalam pendirian dan menjadi tokoh penting JI (Jamaah Islamiyah), sebuah organisasi yang sering dilabeli sebagai kelompok teroris. Pasca lengsernya Orde Baru membuat mereka kembali ke Solo. 

Dan sejak itu Solo kemudian menjadi tempat persemaian dan tumbuh kembangnya kelompok-kelompok radikal. Hingga kini ada sekian banyak kelompok yang diidentifikasi sebagai radikal di Solo, seperti pesantren Ngruki, Majlis Mujahidin Indonesia (MMI), Jemaah Islamiyah (JI), Front Pemuda Islam Surakarta (FPIS,), Laskar Jundullah, Laskar Hizbullah Sunan Bonang, Hawariyyun, Brigade Hisbullah , Barisan Bismillah, Al-Islah, Gerakan Pemuda Ka'bah, serta Komite Aksi Penanggulangan Akibat Krisis (Kompak) dan beberapa kelompok lain. 

Kelompok-kelompok tersebut berideologi puritan. Dan sejak saat itu kekerasan, konflik keagamaan dan juga radikalisme seolah menjadi tren di era kontemporer di Solo (Lihat lebih detil misalnya Wildan, 2012; Baydhowy 2010). Itu belum kelompok-kelompok yang muncul lebih belakangan. 

  • Organisasi-Organisasi Islam Moderat Kurang Begitu Berperan di Solo

Dalam hal ini bahkan, MC Ricklef pernah mengatakan bahkan di Solo, organisasi-organisasi Islam terbesar seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, adalah kelompok yang "minoritas" di sana. Hal ini berbeda dengan daerah-daerah lain di Indonesia yang kebanyakan kedua organisasi tersebut merupakan kelompok Islam mayoritas. 

Ruang-ruang public dan penyebaran dakwah Islam di Solo Raya lebih didominasi oleh kelompok-kelompok puritan yang radikal. Hal ini menjadikan masyarakat di sana lebih banyak menerima wacana keagamaan yang dikembangnya oleh kelompok-kelompok tersebut. 

Naiknya semangat beragama (Islam) masyarakat belakangan di satu sisi, di sisi lain sebagian besar masyarakat sebetulnya awam tentang agama, kemudian diberhasil dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok radikal untuk menanamkan pengaruh mereka secara massif. 

Media, masjid-masjid, radio, toko-toko buku, sekolah-sekolah dan sarana-sarana publik (Islam) lainnya lebih banyak dikuasai oleh kelompok-kelompok yang cenderung berpaham keras.

Di pusat toko buku-buku loakan di belakang Sriwedari misalnya dulu saya sering diberi tahu oleh para penjual buku bahwa sering ada sweping dari pihak-pihak tertentu untuk mencari buku-buku yang dianggap sebagai kontra terhadap buku-buku yang dikarang oleh tokoh-tokoh yang berpaham keras tersebut, jika ditemukan maka si penjual akan diancam dan dilarang menjualnya. Buku-buku karangan tokoh-tokoh Muslim tradisional di Indonesia, buku-buku tentang Syiah serta buku-buku karya tokoh-tokoh yang mereka anggap liberal adalah contoh buku-buku yang dilarang untuk dijual. Sementara buku-buku yang mendukung ideology dan gerakan mereka dipromosikan secara massal.

  • Banyak Masjid yang diduga menyebarkan ideology-ideologi radikal

Di Solo, terutama di Kartosura, menyaksikan perebutan takmir masjid adalah hal yang lumrah terjadi. Meskipun mungkin perlu ada studi tersendiri tentang hal ini, tapi sejauh pengamatan kasar saya kasus perebutan masjid itu biasanya melibatkan orang-orang dengan pemahaman yang keras. Tujuan utama merebut masjid adalah untuk mengubah ideology keagamaan masyarakat sekitarnya. 

Di Kartasura sendiri ada cukup banyak masjid yang awalnya mengamalkan praktik-praktik Islam tradisional kemudian diambil alih kepengurusan takmirnya dan menjadi eklusif.

Tahun 2017 ketika melakukan presentasi progress penelitian, saya ketemu teman lama yang kebetulan meneliti tentang potensi masjid-masjid di Solo sebagai pusat penyebaran radikalisme di daerah tersebut. 

Penelitian itu menggaris bawahi bahwa ada cukup banyak masjid di sana yang menyebarkan ideology-ideologi radikal. Tidak hanya berhenti di situ, tapi bahkan di beberapa masjid tertentu menurutnya dilanjutkan dengan meciptakan jaringan-jaringan untuk mengoordinir aksi-aksi selanjutnya jika dibutuhkan.

  • Adanya penyebaran wacana Islam sebagai pihak yang tertindas secara massif

Jika anda hadir di Islamic book fair yang ada di Solo (biasanya diadakan setahun tiga kali) anda akan bisa menyaksikan bagaimana kelompok-kelompok Islam tersebut mempromosikan wacana "Islam sebagai pihak yang tertindas" melalui berbagai sarana dan media. Mulai dari buku-buku tentang jihad dan perang di negara-negara seperti Suriah, Afganistan, Irak, Cechnya, tentang perang antara ISIS dan negara-negara Barat yang dipimpin oleh Amerika dan lainnyya. poster-poster dan video-video, dan gambar-gambar tentang anak-anak, perempuan-perempuan dan para korban di berbagai negara yang sedang konflik tersebut dipampang di setiap sudut di hampir setiap stan. Foto, poster, dan video-video tersebut dijual secara massal.

Di lapangan kabarnya tak sedikit anak-anak dipertonkan video-video tentang perang di Suriah, Irak, perang ISIS, semua itu ditujukan untuk membangun narasi dan menanamkan gambaran "bagaimana tertindasnya saudara-saudara Muslim kita di berbagai belahan dunia". Kemudian akan diajarkan dan ditanamkan tentang pentingnya berjihad kepada mereka.


  • Ada cukup banyak sekolah yang mengajarkan eklusifme bahkan radikalisme

Ada cukup banyak sekolah yang mengajarkan eklusifme di kota tersebut, bahkan mulai dari tingkat PAU hingga tingkat sekolah menengah atas. Saya sendiri beberapa kali menyaksikannya. 

Pernah suatu ketika saya menemani seorang kawan yang mencoba mendaftar di sebuah sekolah Islam di kota Solo. Lowongannya pengajar Al-Qur'an. Dan kebetulan si kawan saya tersebut hafal Al-Qur'an 30 juz, dan dia telah lolos seleksi tulis. 

Namun kemudian saat tes wawancara, kemudian dia ditanya sebuah pertanyaan dengan mimik yang serius, "Apakah anda merokok?". Si kawan saya tidak bisa menjawab, karena dia memang seorang perokok. Lalau dari situ si pewawancara menyudahi pertanyaannya. Teman saya tidak diterima karena alasan merokok.

Ada juga beberapa sekolah, bahkan tingkat TK yang menurut kabar dari sumber-sumber terpercaya yang bahkan menanamkan benih-benih paham radikal kepada anak-anak didiknya, melalui hidden kurikulumnya.

  • Adanya Pemodruksian dan Penyebaran buku-buku yang beridiologi radikal secara massif

Jika anda ingin mengetahuinya, saya sarankan untuk mensurvey toko-toko buku yang ada di daerah ini. Anda juga bisa melihatnya melalui berbagai Islamic book fair yang biasa diadakan secara rutin di kota ini.

Atau jika anda ingin membaca hasil studi tentang penerbitan dan penyebaran buku-buku semacam ini anda misalnya bisa membaca studi yang dilakukan oleh prof. Noorhaidi Hasan, dkk, yang salah satunya juga menyasar Solo sebagai salah satu lokasi studin untuk melihat bagaimana sebetulnya buku-buku keagamaan yang berkembang di masyarakat, terutama di kalangan generasi milenial. Lebih detil tentang ini silakan baca buku Literaratur Keislaman Generasi Milenial: Transmisi, Aproriasi, dan Kontestasi (Yogjakarta: Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Press, 2018)

Itu mungkin hanyalah sedikit faktor yang dianggap ikut mendorong radikalisme di daerah tersebut, dan tentu saja untuk memahaminya lebih detil perlu adanya kajian yang serius dari berbagai aspeknya. 

Namun sejatinya masyarakat asli di kota tersebut adalah masyarakat yang ramah, merindukan kedamain, dan berbudaya. Bahkan sejatinya Solo memiiliki akar sejarah yang menunjukkan bukti yang kuat bagaimana Islam dan budaya lokal bisa disinerginan dengan baik. 

Tradisi-tradisi seperti Sekatenan, Grebeg Maulud, adalah salah satu bukti. Manuskrip-manuskrip (kuno) keislaman yang ada di Surakarta pun hampir semua menunjukkan bagaimana Islam bisa berdampingan dengan baik dengan budaya Jawa.

Sumber Bacaan

- Wildan, Muhammad. 2010. "Mapping Radical Islamism in Solo: A Studi of the Proliferation of Radical Islamism in Central Java". Al-Jamiah: Journal of Islamic Studies, Vol 46, No 1, hlm. 35-69.

- al-Baidhowi, Zakiyudin "Dinamika Radikalisme dan Konflik Bersentimen Agama di Surakarta", Studia Philosophica et Theologica, Vol. 1, No 2 2010.

- Hasan, Noorhaidi dkk. Literatur Keislaman Generasi Milenial: Transmisi, Apropriasi, dan Kontestasi. Yogjakarta: Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Press, 2018.

- Riclefs, M.C. Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi Jawa dan Penentangnya dari 1930 sampai Sekarang. Jakarta: Serambi, 2013.

- Fealy,  Greg; Bubalo, Antonio. Jejak Kafilah: Pengaruh Radikalisme Timur Tengah di Indonesia. Bandung: Mizan, 2007.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun