Mohon tunggu...
Muhammad Asif
Muhammad Asif Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer and reseacher

Dosen dan peneliti. Meminati studi-studi tentang sejarah, manuskrip, serta Islam di Indonesia secara luas.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Antara Karir Seorang Akademisi, Soal-soal Administrasi dan Tuntunan Negara

30 Mei 2019   07:13 Diperbarui: 30 Mei 2019   08:40 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Saya kok tiba-tiba ingat sebuah percakapan dengan seorang peneliti (bidang ilmu sosial) senior di LIPI, waktu itu dia mengeluhkan, "Sampai sekarang hampir tidak ada teori-teori (sosial) yang pernah dihasilkan oleh ilmuwan kita". Perkataan peneliti tersebut memang benar adanya. 

Memang jika dipikir-pikir, hingga sekarang hampir tak ada teori yang telah dihasilkan oleh ilmuwan negara kita. Tentu saja ini dalam konteks ilmu-ilmu sosial (social science). Kalau natural science saya tidak tahu pastinya. Apakah ilmuwan-ilmuwan seperti pak Habibi telah melahirkan teori-teori baru apa tidak.

Padahal ada sekian ribu dosen dan peneliti , bahkan tepatnya sekitar 200an ribu. Ada ratusan kampus ternama di negara kita. Dan sudah Milyaran bahkan mungkin Triliyunan anggaran dikucurkan untuk meningkatkan kualitas riset di negara kita. 

Tapi kenapa tak muncul juga teori-teori baru yang berguna bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan juga kemanusiaan. Kalau harus diakui bahkan hampir semua teori-teori sosial yang dilahirkan dari Indonesia, justru dicetuskan oleh ilmuwan dari luar. Sebut saja misalnya Clifford Gertz, Benedict Anderson dan beberapa ilmuwan lain.

Tanpa sengaja saya kemudian pernah membaca sebuah tulisan Azyumardi Azra, seorang guru besar ilmu sejarah yang juga punya mengalaman yang kaya dalam dunia riset di Barat. 

Prof Azra pernah mengatakan bahwa dosen dan akademisi di negara kita terlalu disibukkan oleh hal-hal yang sifatnya administratif, sehingga tidak bisa maksimal sebagai seorang ilmuwan.

Saya kemudian mencari titik hubung antara pernyataan Azra dengan kondisi yang di sampaikan oleh peneliti LIPI tadi. Jangan-jangan memang benar, ada kaitan antara keduanya? Jangan-jangan tidak muncul-muncul teori-teori baru yang benar-benar diakui didunia ilmu pengetahuan secara internasional (saya katakana demikian, karena mungkin banyak dosen atau akademisi yang mengklaim telah menemukan teori-teori baru, tapi sejatinya tidak), karena dosen-dosen dan kademisi kita terlalu disibukkan oleh soal-soal urusan admistrasi.

Memang harus diakui bahwa setidaknya dalam beberapa tahun terakhir, riset kita meningkat dari segi kualitas dan kuantitas. Publikasi ilmiah internasional kita juga semakin meningkat. Lihat misalnya dalam beberapa catatan saya sebelumnya. Misalnya https://www.kompasiana.com/ayahabil/5c5ae2c012ae9448e80cb827/era-jurnal-di-indonesia-kemajuan-sebuah-bangsa-dan-tantangan-hoaks.

Namun harus diakui pencapaian itu belum sampai pada tahap ditemukannnya teori-teori baru yang dirumuskan oleh dosen ataupun akademisi kita. Kalau mau jujur belum ada pula ilmuwan kita yang namanya setara dengan ilmuwan-ilmuwan besar di dunia, sebut saja misalnya seperti Clifford Gertz, Benedict Anderson, apalagi sekelas Max Weber, Emil Durkeim, Karl Max dan lain sebaginya.

Mungkin benar adanya apa yang dikatakan profesor Azra, akademisi kita terlalu disibukkan dengan urusan-urusan administrasi, sehingga mungkin berpengaruh terhadap tugas utamanya sebagai seorang ilmuwan yang bersifat substansial, misalnya bagaimana merencanakan riset-riset yang multi years agar diharapkan bisa melahirkan temuan-temuan dan teori-teori baru.

 Coba kita urai sedikit soal administrasi tadi. Dosen yang sudah tersertifikasi misalnya, setiap semester harus diwajibkan untuk mengisi BKD (beban kerja dosen). Yang menurut saya lebih terkait ke soal-soal administatif. Yang belum tersertifikasi lebih ribet lagi karena harus mengurus tahapan-tahapan sebelumnya.

BKD itu terdiri dari beberapa aspek, diantaranya pendidikan, penelitian, pengabdian kepada masyarakat dan unsur tambahan. Untuk bagian pendidikan saja misalnya seorang dosen harus melaporkan kegiatan mengajarnya selama satu semester. 

Maka ia pun diharuskan oleh mengurus mulai dari, Sk dan jadwal mengajar, absensi, SAP, Silabus pembelajaran, hingga nilai mahasiswa. Belum lagi harus meminta tanda tangan ke ketua program studi dimana seorang dosen ditempatkan. Semua itu harus discan dan kemudian diuploud secara online. 

Belum lagi nanti soal penelitian, ia harus meng-uploud artikel jurnal yang telah terbit, dan tentu saja harus disertai dengan surat keterangan dari Lemabaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat kampus terkait. 

Kalau ditambah dengan pengabdian masyarakat, maka yang bersangkutan harus melaporkan hasil-hasil pengabdiannya. Mulai dari surat tugas dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat kampus, SK, serta hasil atau laporan pengabdiannya. Bisa anda bayangkan betapa ribetnya.

 Hal-hal yang sifatnya administatif yang seharusnya menjadi pekerjaan staf bagian administrasi harus dilakukan oleh seorang akademisi. Dan itu harus dilakukan setiap semester. 

Saya pribadi kadang berpikir, kenapa tidak disederhanakan saja, misalnya diminta melaporkan publikasi ilmiahnya di jurnal terakreditasi nasional dan tinggal menge-link-an saja.

Itu belum soal finger print kehadiran. Beberapa instansi pemerintah yang membawahi dunia sekarang ada yang mulai mewajibkan para dosen untuk melakukan absen finger print. Padahal tugas seorang dosen atau akademisi tidak hanya hadir dan mengajar di kelas. 

Sebaliknya ia juga dituntut untuk melakukan penelitian dan juga pengabdian kepada masyarakat. Ketika melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat tentu saja seorang dosen lebih banyak dituntut untuk berada di lapangan, mencari data, melakukan observasi dan semacamnya apalagi kalau peneliitiannya berlokasi di wilayah yang jauh. 

Saya setuju kalau finger print diberlalukan kepada pegawai atau staf di instansi pemerintah karena memang kehadiran mereka selalu dibutuhkan dan dituntut oleh pekerjaan. Tapi kalau diterapakan kepada dosen atau peneliti saya kira kurang pas.

Soal kenaikan pangkat atau jabatan fungsional dosen, nanti juga seperti itu. Bahkan jauh lebih ribet. Saat mengajukan kenaikan yang berssngkutan harus melaporkan dan mengurus berkas-berkasnya selama beberapa tahun (standar minimalnya dua tahun), mulai dari dokumen-dokumen di bidang pendidikan, penelitian, pengabdian kepada masyarakat dan juga unsur-unsur penunjang.

 Sebagai contoh untuk bidang pendidikan saja misalnya ia harus melampirkan dokumen-dokumen mulai dari SK dan jadwal mengajar, SAP, silabus, absensi dan jurnal mengajar, hasil nilai mahasiswa selama dua tahun mengajar, bahkan kadang juga diminta contoh hasil kerjaan UTS atau UAS mahasiswa. 

Itu kalau dianggap tidak mencukupi masih harus dilengkapi dokumen-dokumen pembingan skripsi, halaman pengesahan, dan lainnya. Itu baru satu bidang. Belum bidang penelitian, pengabdian kepada masyarakat serta unsur penunjang.

Kawan-kawan dosen yang mendapatkan beasiswa studi lanjut, di LPDP misalnya, laporannya juga tak kalah njlimet. Seorang teman misalnya becerita, selain harus melaporkan hasil studi, dia juga diminta untuk melaporkan soal-soal administrasi dan penggunaan keuangan. 

Sebagai contoh kecil misalnya bahkan slip atau faktur/nota pembayaran/pembelian pun harus dilampirkan. Misalnya bagi penerima beasiswa LPDP ada pos untuk biaya pembelian buku. Ketika laporan, yang bersangkutan bahkan diminta melaporkan daftar dan rician buku-buku yang dibeli selama satu tahun, disertai dengan nota pembelian.

Belum lagi kalau seorang dosen atau peneliti harus melakukan penelitian. Sekarang laporan administrasinya (keuangan) juga tak kalah ribet. Bahkan banyak kawan-kawan yang berseloroh, "Lebih ribet dari menulis laporan hasil penelitian". 

Padahal ketika harus menerbitkan hasil penelitiannya di jurnal-jurnal yang bereputasi, mereka nanti harus bersiap dan berjibaku merespon dan merevisi sesuai catatan/koreksi dari para blind reviewer yang itu kadang memerlukan proses dan waktu yang lama.

Begitulah ribetnya administrasi yang harus dihadapi oleh seorang dosen atau akademisi. Padahal di sisi lain, oleh negara seorang akademisi dituntut untuk melakukan penelitian dan mengahasilkan temuan-temuan baru. 

Mereka juga dituntut untuk melakukan publikasi-publikasi ilmiah di jurnal-jurnal terakreditasi nasional maupun internasional bereputasi, terutama untuk dosen yang sudah senior apalagi yang sudah bergelar guru besar atau profesor. Saya pribadi seringkali berpikir, kenapa yang soal-soal administrasi tidak disederhanakan saja. Bukankah salah satu program pemerintah belakangan adalah menyederhanakan soal-soal administrasi?

Dan biarkan para akademisi menyibukkan diri pada dalam penelitiannya. Biar dia menghasilkan temuan-temuan baru,  publikasi-publikasi ilmiah yang berkualitas. Dan pemerintah, negara cukup mengatur mekanisme kontrolnya yang bisa disederhakan.

Dalam hal ini kita bisa belajar dari negara-negara maju di Barat. Mereka biasa mengharuskan para dosen dan akademisinya mengembara ke berbagai negara, selama bertahun-tahun, dan mereka hanya dituntut untuk menghasilkan hasil-hasil penelitian yang berkualitas, dan menghasilkan publikasi-publikasi internasional dan bahkan teori-teori baru. Mereka hanya akan diakui dan boleh pulang setelah bisa menghasilkan capaian-capaian tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun