Mohon tunggu...
Alexander Kevin
Alexander Kevin Mohon Tunggu... -

Kejujuran dan keberanian adalah alur hidup mencapai kedamaian hati

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kejujuran

3 Januari 2013   12:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:34 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pencarian Makna Kejujuran oleh Seorang Bocah


Ada seorang bocah yang sedari kecil bersifat jujur karena ia percaya seseorang yang mengatakan bahwa dirinya jujur. Sang bocah dengan pemikiran yang sederhana berusaha mencari makna jujur. Ia melihat masyarakat sekeliling, mencari-cari contoh perbuatan yang disebut jujur. Ketika melihat salah satu adegan film tentang seorang anak yang melihat dompet sang nenek yang terjatuh dari tasnya, lalu ia mengembalikan dompet sang nenek, sang anak tersebut dipuji jujur oleh sang nenek. Ketika di sekolah, sang guru pernah mengajarkan untuk jujur dengan tidak menyontek. Beliau menceritakan sebuah perumpamaan seorang pria dengan kupu-kupu;

Ada seorang pria yang begitu mencintai alam. Ia memiliki kebun yang luas di sekeliling rumahnya. Kebun dia penuh dengan pepohonan berbunga hias seperti mawar, melati, anggrek, lili, tulip, bahkan edelweiss yang ia tanam dengan perlakuan khusus seperti di habitat aslinya, dan beberapa pepohonan keras seperti pohon jati, oak, willow, angsana, petai cina, kamboja, dan juga beberapa tanaman sayuran, tanaman penghasil buah, serta tanaman semak dan pepohonan perdu yang begitu banyak dan lebat. Taman tersebut selalu dipenuhi kupu-kupu, terutama kupu-kupu monarch. Burung-burung pun senang menempati taman itu dan bersenandung ria di kala hari. Suatu ketika, ia berjalan-jalan berkeliling di kebunnya. Ia menemukan sebuah kepompong di bawah daun teh. Ia memperhatikan kepompong tersebut dan nampaknya kepompong tersebut akan menjadi kupu-kupu dalam waktu dekat. Ia pun meluangkan waktunya setiap hari untuk memperhatikan apakah sudah waktunya kepompong tersebut menjadi kupu-kupu. Empat hari kemudian, dia menghampiri lagi tempat kepompong tersebut dan sesosok kupu-kupu bergejolak berusaha keluar dari kepompong. Dua dari enam kakinya sudah keluar. Pria itu menyaksikan kupu-kupu tersebut berjuang sangat keras. Beberapa saat kemudian, kupu-kupu tersebut tampak lelah dan diam. Diamatinya dan ditunggu beberapa menit lagi, kupu-kupu tersebut bergejolak kembali. Namun setelah berjuang kembali, hanya kaki-kakinya saja yang keluar. Sayap kupu-kupu tersebut terjepit oleh celah keluar kepompong. Pria itu hanya menyaksikan saja kupu-kupu tersebut berjuang sampai lelah dan kembali berusaha lagi. Waktu berlalu cukup lama, dan sang kupu-kupu hanya terdiam lemas. Ia berusaha lagi namun hanya gesekan sayap-sayap lemas saja yang terbungkam dinding kepompong. Si pria ini pun kasihan. Dia menarik kupu-kupu tersebut perlahan-lahan keluar dari kepompong. Hanya sebentar saja, dan kupu-kupu pun terbebas. Saat pria ini menerbangkan kupu-kupu tersebut, dia melihat hal yang aneh. Kupu-kupu tersebut tidak bisa terbang. Dia letakkan kupu-kupu tersebut di sebuah pohon lalu memperhatikan kembali. Ketika kupu-kupu tersebut akan berpindah ke pohon lain, dia berusaha terbang tetapi justru terjatuh. Pria itu pun tersadar bahwa itu salah dia. Dinding kepompong sudah terdesain untuk melatih sayap kupu-kupu, sehingga sayap kupu-kupu menjadi kuat ketika berhasil keluar dari kepompong. Pria tersebut telah mencelakakan kupu-kupu tersebut. Dia telah memaksakan sesuatu di luar apa yang telah alam siapkan.


Sang guru kemudian menjelaskan dengan bahasa yang dipahami anak-anak bahwa ketika kita menyontek, kita membohongi diri sendiri. Sebenarnya kita tidak bisa, tetapi kita menutupi ketidak-bisaan itu dengan nilai. Pernah suatu kali ia bertemu dengan seseorang yang mengatakan bahwa jujur itu tidak berbohong. Sang bocah pun mulai menyusun kesimpulan bahwa kejujuran lawan dari kebohongan dan sebaliknya. Ketika kita tidak berbohong, kita jujur. Enam tahun kemudian, sang bocah duduk di kelas 6 SD. Sang bocah masih memegang prinsip itu. Ia tidak pernah menyontek sampai saat itu. Ketika ada ulangan da nada soal yang tak bisa ia jawab, ia selalu menyilang nomor soal tersebut di jawaban lalu menulis “tidak tahu”. Suasana ketika kelas 6 SD sudah mulai ada temannya yang mulai malas belajar namun berharap mendapat nilai bagus. Suatu ketika tiba saatnya ulangan. Salah satu temannya memulai aksi menyonteknya dan kemudian diikuti hampir semua teman sekelasnya. Ketika teman sebangkunya mulai menyontek, ia pun menghadapi godaan. Sempat ia berpikir untuk menyerah karena memang ia belum betul-betul siap dengan ujian itu lalu menyontek saja. Ia mulai memegang buku dan siap membukanya sementara ulangan tersebut bersifat close book dan mandiri. Tapi itu jelas tidak jujur. Ia berpikir kalau ia tidak menyontek, hanya dia satu-satunya yang mendapat nilai jelek dalam ulangan. Dan ia akan dimarahi orang tuanya bila mendapat nilai jelek. Dia pun diapit oleh kebanggaan bahwa dia selalu mendapat nilai tinggi pada pelajaran tersebut sebelum-sebelumnya. Tapi ketika ia menyontek, ia akan membohongi diri sendiri, seperti yang telah guru TK katakan pada muridnya. Pada akhirnya kebaikan menang terhadap dirinya. Ia tidak menyontek. Dan ia berbicara sendiri bahwa ketika ia menyontek, ia membohongi diri dan biarlah dia yang mendapat nilai terendah daripada nilai tinggi tapi palsu, ia siap dimarahi orang tuanya karena nilai jelek karena memang ia belum siap. Kata-kata ia bernada seperti orang di bawah tekanan kuat. Teman sebangkunya dan yang di depannya mendengar kata-kata ia. Teman sebangkunya mulai menutup bukunya lalu mulai mengerjakan sendiri sambil mengajak teman-teman lain untuk jujur.  Perbuatan tersebut menyebar dan hampir semua anak berhenti menyontek. Ada salah satu dari temannya yang masih menyontek, dan teman-teman sekelasnya mengetahui. Ia sempat dimusuhi hampir sekelas. Sang bocah tersebut justru menjadi benci terhadap temannya tersebut. Iri menguasai ia. Ia memiliki suara mayoritas dan merasa berhak menghakimi temannya tersebut dengan ejekan-ejekan dan hinaan-hinaan. Sempat orang tua temannya sudah gemas dengan perilaku si bocah karena hampir setiap hari ia mendapat laporan dari anaknya yang dihina-hina. Si bocah dan beberapa temannya yang ikut menghina dipanggil ke kantor guru. Sang ayah temannya yang dihina sudah mulai panas dan ingin menghakimi bocah. Namun bocah tersebut tetap merasa benar dan menentang. Seiring berjalanya waktu, intensitas kejelekan si bocah berkurang dan akhirnya sadar bahwa ia benci terhadap temannya karena iri. Namun masa SD telah berakhir dan ia sudah berpisah tanpa meminta maaf yang sebenarnya dari hati.

Ketika SMP, ia tetap memegang prinsipnya itu. Beberapa temannya setuju dan berteman dengan ia. Beberapa temannya ada yang senang menyontek. Ia mengambil sikap mendiamkan temannya yang menyontek dan jarang bergaul dengan mereka karena memang sengaja menghindari mereka. Teman-temannya yang setuju dengan ia banyak bergaul dengan temannya yang senang menyontek. Bocah yang kini memasuki tahap remaja awal pun tidak memusuhinya, tetapi tidak begitu akrab dengan mereka. Peringkat di kelasnya pun tidak terpengaruh oleh nilai-nilai temannya yang menyontek. Ketika kelulusan, mereka semua berteman seperti biasa saja. Tidak ada perasaan buruk yang disimpan karena semua telah saling memaafkan.

Menginjak masa SMA, bocah tersebut ini menjadi remaja yang kuat. Ketika kelas satu, ia masih mendapat peringkat 10 besar dengan kondisi teman-temannya yang heterogen seperti semasa SMP. Namun ketika kelas dua semester 1, peringkatnya turun drastis menjadi yang paling terakhir. Ia menyadari bahwa memang ia tidak belajar. Kebanyakan temannya hanya menyalin tugas dari teman yang sudah mengerjakan. Dan hampir semuanya menyontek ketika ujian. Di semester 2, ia pun belajar keras. Semua tugas dan PR ia kerjakan. Ketika ujian, nilainya baik dan ia ada di peringkat atas. Ilmu pun telah ia dapatkan. Ia lebih pintar dari kebanyakan teman lainnya. Namun hasilnya keluar dan ia masih di peringkat terakhir di kelasnya. Padahal ia telah memiliki nilai lebih daripada teman-temannya. Dan akhirnya ia memusuhi teman-temannya yang senang menyontek, dan itu hampir satu kelas. Ia mendiamkan mereka dan tidak mau bergaul dengan mereka. Hanya sedikit saja teman yang masih dianggap teman, dan itu adalah mereka yang dipandang tidak munafik bagi ia. Beberapa kali ia menghina teman-temannya yang menyontek, dan ia pun dicela kembali karena suara mayoritas ada pada teman-temannya yang senang menyontek. Menjelang akhir kelas tiga, kekerasan ia terhadap teman-temannya mulai melunak. Perlahan mereka berteman lagi walau hanya “say hello”. Namun ia tak pernah berteman begitu dalam dengan mereka. Menjelang UAN, angkatan ia mendapat tawaran kunci jawaban UAN. Akhirnya angkatan tersebut sepakat hanya bagi yang mau saja yang memakai dan turut berpatungan. Ia, tidak memakainya, namun sedikit menyimpan kekecewaan terhadap mereka yang menggunakan kunci jawaban. Akhirnya semua anak lulus UAN. Di akhir masa SMA, ia baru mengetahui bahwa nilai rapor bisa diganti. Kebanyakan orang tua murid yang nilainya kurang atau muridnya sendiri, mengemis pada untuk guru mengganti nilai dengan lebih baik. Dan tak jarang uang sebagai tanda terima kasih mereka. Bocah yang kini telah memasuki tahap remaja akhir ini pun menyimpan luka batin kepada beberapa temannya dan beberapa gurunya. Bermiggu-minggu ia tenggelam dalam kebencian bila mengingat-ingat apa yang telah berlalu.

Suatu ketika ia melawan rasa benci itu dan mencoba berpikir jernih. Ia menemukan bahwa teman-teman ia salah walaupun terpaksa, tapi ia juga menemukan bahwa ia sendiri membusuk dengan mendiamkan dan memusuhi teman-temannya. Seharusnya ia mengajak teman-temannya untuk jujur. Dan ia seharusnya mengingatkan temannya dan mengajak mereka belajar. Bukan membiarkan mereka celaka. Sang bocah yang kini di masa akhir remaja pun menyadari bahwa konsep kejujuran yang ia pahami masih sempit. Ia menyadari bila selamanya kejujuran adalah seperti yang ada pada prinsip ia, kejujuran itu akan bertentangan dengan beberapa kebenaran lain. Lantas, apakah suatu kebenaran akan menentang kebenaran lainnya? Apakah orang jujur memusuhi orang tidak jujur? Apakah kejujuran itu?

Ketika Kejujuran Dijual


Suatu kisah dari negeri antah berantah di mana tak tahu ke mana. Ada seorang wanita miskin yang bekerja di perusahaan mie instan. Ia bekerja di bagian tenaga pengawetan. Ia dan teman-teman bekerjanya mengetahui bahwa pengawet yang digunakan perusahaan tersebut adalah natrium benzoate, pengawet yang diizinkan oleh menteri kesehatan Indonesia. Karena ketangkasannya dalam bekerja, ia dilihat dan dinilai baik oleh kepala bagian produksi. Ia sering lembur karena butuh uang untuk menghidupi anaknya yang balita dan kakaknya yang bersekolah di bangku SMP. Suaminya hanya mabuk-mabukan, berjudi, dan mereka sering bertengkar dan sang suami tidak segan menganiaya dia dan anak-anaknya. Akhirnya entah ke mana mereka berpisah, dan anak-anak menjadi tanggungan si ibu. Si suami pun kabur dengan meninggalkan hutang dari hasil perjudiannya.

Suatu ketika, si ibu diangkat menjadi manajer pengawasan kerja. Ia tentu tidak menolak. Pekerjaan ia adalah mengawasi jalannya pengawetan dan memperhatikan pekerjaan pegawai di bidangnya dulu. Sempat ia berkeliling mengawasi jalannya kerja industri dan menemukan ruang racikan pengawet. Ia menemukan berbotol-botol formalin di ruang tersebut. Sang ibu pun terkejut. Ia menanyakan hal tersebut kepada atasannya. Atasannya pun mengakui dan meminta ia juga turut bungkam. Sang ibu pun menghadapi dilema. Jika ia memberitahukan publik, perusahaan akan dituntut dan terancam bangkrut. Dan konsekuensinya tentu semua temannya dan ia sendiri kena PHK. Ia sendiri masih memiliki banyak hutang kepada tetangga-tetangganya sementara anak-anaknya masih memerlukan biaya. Sementara itu, jutaan penduduk Indonesia diracuni formalin dari produk tersebut, produk dari perusahaan yang memberinya makan untuk tetap hidup. Pada akhirnya ia memilih bungkam.

Namun bangkai yang ditutupi akan tercium baunya. Ada sejumlah mahasiswa yang melakukan kerja praktek di BPOM dan kebetulan ditugaskan menganalisa kandungan pengawet produk tersebut. Mereka menemukan sampel produk tersebut mengandung formalin. Segera mereka menyampaikan ke publik. Media pun ramai dengan berita tersebut. Akhirnya mahasiswa dan perusahaan tersebut berada dalam pengadilan negeri. Si ibu tersebut beserta rekan-rekan kerjanya dipanggil menjadi saksi. Rekan-rekan kerjanya hanya mengetahui bahwa pengawet yang digunakan adalah natrium benzoate dan hanya si ibu yang tahu bahwa ada kandungan formalin yang digunakan oleh perusahaan tersebut. Si ibu pun bungkam. Hakim memutuskan bahwa perusahaan tersebut tidak bersalah dan mahasiswa tersebut dituntut atas tindak pidana atas pencemaran nama baik. Sang ibu pun hanya bisa menanggung beban batin di dalam hati. Mengubur rahasia perusahaan dalam-dalam.

Apakah ibu tersebut yakin tidak ada jalan lain yang lebih baik untuk mencari rezeki? Ibu dalam cerita tersebut tidak berbohong. Namun juga tidak mewartakan kebenaran. Dia membiarkan kejahatan berkuasa. Bagaimana dengan rekan-rekan kerja ibu tersebut? Mereka mengikuti suara hati mereka, namun mereka tidak mengetahui lebih jauh. Apa mereka berkata jujur di pengadilan? Jadi apakah kejujuran itu?

Ketika Kejujuran Pada Perikemanusiaan Melanggar Hukum Negara


Satu lagi kisah dari negeri antah berantah di mana tak tahu ke mana. Sebuah negeri dengan hukum yang diambil dari Syari’at Islam bahwa kedua tangan setiap pencuri harus dipotong. Alkisah hiduplah seorang pemulung bersama seorang anaknya. Ia bersama anaknya selalu berkeliling di siang bolong maupun malam hari untuk mengais-ngais sampah demi mengumpulkan botol-botol plastik. Mereka terbiasa melakukan hal tersebut dari anaknya berumur 7 tahun sampai sekarang. Ibu anak pemulung tersebut sudah lama meninggal karena leukemia dan tidak pernah mendapat perawatan rumah sakit karena mereka tidak mampu membayar uang muka, apalagi biaya perawatannya. Sekarang tinggal anak pemulung tersebut dengan ayahnya. Setiap hari mereka mencari botol-botol plastik, tak peduli siang terik maupun malam hari. Setelah dirasa cukup, kemudian mereka kembali ke gubugnya yang reot beratapkan dan berdinding seng di sebelah bangunan yang terbengkalai dan tempat pembuangan sampah. Setiap sore, mereka menjual hasil memulungnya ke tempat daur ulang. Hasil penjualannya cukup untuk membeli nasi sayur telur untuk mereka makan dua kali sehari, dan terkadang ada lima ribu sampai sepuluh ribu untuk ditabung. Sang anak tidak bersekolah karena tidak mempunyai biaya yang cukup untuk membayar keperluan-keperluan pendidikan. Namun ayahnya sering mengajarkan anaknya membaca dengan koran bekas dan berhitung dengan uang di kala istirahat. Kehidupan mereka cukup harmonis, walaupun banyak kekurangan, mereka dapat mencukupi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun